Kata ‘oplosan’ semula merupakan judul nyanyian dangdut ciptaan Nur Bayan - yang kemudian menjadi booming ketika dibawakan Soimah pada acara YKS(Yuk Keep Smile) - merupakan satu diantara sekian fenomena menarik yang lahir dari ‘gejala sosial’ di Indonesia. Kata ‘oplosan’ pada lagu tersebut bermakna campuran dari berbagai minuman yang memabukkan. Tujuannya jelas untuk menciptakan ‘ekstase diri’. Mabuk adalah kata kuncinya. Sayangnya karena bahan minuman yang dicampurkan itu terdiri dari bahan-bahan yang berbahaya, maka konsekuensi dari minuman ini sungguh berbahaya dibandingkan dengan minuman memabukkan lainnya. Dampak yang paling bisa dilihat pada minuman oplosan bisa diketahui melalui berbagai media yang mengabarkan banyak sekali konsumen minuman oplosan yang cacat bahkan meninggal dunia. Jadi yang menjadi inti dari kata ‘oplosan’ ialah: campuran sesuatu dengan sesuatu yang lain dimana jika digabungkan akan melahirkan dampak negatif.
Melihat
pada subtansi kata ‘oplosan’, kita bisa mencermati bahwa oplosan bukan saja
terjadi pada minuman yang memabukkan. Secara subtansial ternyata juga terjadi
di berbagai aspek kehidupan; baik pada ranah politik, pendidikan, sosial,
maupun ranah-ranah lainnya. Namun pada tulisan ini akan dibahas secara khusus
tentang: ‘Santri Oplosan’. Tentu saja, istilah ini sangat tidak populer jika
disandingkan dengan kata ‘santri’, namun secara inti ternyata fenomena oplosan
juga terjadi di kalangan santri. Oplosan di kalangan santri bukan semata
terlihat pada keterpengaruhan santri dengan lagu dan goyang oplosan yang
dibesarkan media, lebih dalam lagi bahwa santri bisa menjadi oplosan jika
santri sudah tidak murni menjadi santri. Secara formal memang statusnya adalah
santri, tapi jika ditilik lebih dalam ternyata gayanya tidak murni santri. Gaya
tersebut bisa dilihat dari segi berpakaian, berpikir, potongan rambut,
pergaulan, bertutur kata dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari.
‘Santri
Oplosan’ adalah santri yang gaya berpakaiannya sudah menyimpang dari kesopanan
yang ditetapkan Islam; adalah santri yang gaya berfikirnya sudah terkontaminasi
dengan gaya berpikir impor yang tentunya sangat berbahaya jika dicampur dengan
pemikiran islami; adalah santri yang gaya potongan rambutnya bukan lagi
terfokus pada kesopan tetapi meniru model diluar kesopanan santri, entah itu
artis, model, pemain sepak bola dan lain sebagainya yang notabene tidak pas
jika dipakai santri; adalah santri yang pergaulannya sudah tidak lagi bersama
santri. Ia sudah berani kabur pesantren bergaul dengan ‘anak-anak nakal’ yang
tentu saja bisa mempengaruhi dirinya sebagai santri (yang seharusnya mewarnai
ternyata malah terwarnai oleh kehidupan ‘anak-anak’ nakal); adalah santri yang
bila bertuturkata sudah tak lagi mempedulikan kesopanan tetapi sudah
terpengaruh dengan istilah-istilah yang rusak dan tak layak jika diungkapkan
oleh santri; adalah santri yang sikapnya sehari-hari sama sekali tidak
mencerminkan sosok santri, karena terpengaruh dengan hal negatif di luar
dirinya akhirnya ketika bersikap pun juga bersikap bukan sebagai santri.
Kalau
santri sudah menjadi oplosan, jelas akan berbahaya. Berbahaya bukan saja bagi diri
santri dan pesantren sebagai wadah yang ‘mencetaknya’ sebagai da`i; di sisi lain juga berbahaya
jika masyarakat luar berpersepsi salah mengenai kesejatian santri. Bila santri
sudah menanggalkan ciri khasnya, maka sangat berdampak negatif bagi pesantren,
dan tentu saja pastinya juga akan mengecewakan orang tua yang menitipkannya di
pesantren. Dampak negatifnya bagi santri sendiri dapat dilihat pada:
ketidakberhasilannya dalam menempuh tujuannya untuk mempelajari ilmu-ilmu
agama; kemalasan yang semakin menjadi-jadi; kesopanan sudah sedemikian pudar;
tak taat aturan; semangat menuntut ilmu semakin menurun; jarang masuk sekolah;
memberi pengaruh negatif kepada teman-temannya; bahkan pada tingkat yang lebih
ekstrim bisa melanggar aturan-aturan syar`i yang seharusnya dijaga oleh para
santri. Sedangkan dampak negatif bagi pesantren diantaranya: secara internal akan
mengganggu kegiatan yang dicanangkan pengurus pesantren; akan menjadi anomali
yang berpengaruh negatif bagi santri-santri lain; akan menjadi teladan yang tak
baik bagi santri lainnya. Adapun secara eksternal akan merusak citra pesantren
sebagai wadah yang membinanya. Jangan heran ketika ada santri yang nakal, orang
akan bertanya: lulusan pesantren mana tuh santri? Jadi jelas akan
merusak citra pesantren. Santri memang bukanlah manusia sempurna, tapi jika
dibiarkan menjadi oplosan, maka akan banyak sekali bahaya menimpa. Masalah ini
harus dijadikan masalah bersama bagi setiap pendidik pesantren dan segera
dicari solusinya. Bila tidak, santri hanya akan menjadi anomali bagi pesantren.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !