Home » » Iman Sembada, Nikmat Mengganda

Iman Sembada, Nikmat Mengganda

Written By Amoe Hirata on Kamis, 24 April 2014 | 20.16

               “Bagaimana mungkin aku tidak membenarkanmu pada masalah ini sedangkan aku membenarkanmu pada masalah (yang lebih besar dari ini) yaitu berita dari langit(wahyu dari Allah ta`ala)”. Demikian pernyataan Huzaimah bin Tsabit ketika memberi kesaksian pada Nabi Muhammad bahwa beliau benar-benar membeli kuda dari seorang pedagang kuda yang mungkir meminta saksi. Cerita intinya: Nabi sedang melakukan tawar-menawar dengan seorang penjual kuda, dan telah terjadi kesepakatan bahwa nabi akan membelinya. Setelah transaksi telah disepakati, penjual kuda ini tidak segera memutuskan menjual sembari menunggu pembeli lain. Akhirnya ada pembeli lain yang tertarik, dan mau membelinya. Sewaktu sudah mau membeli kuda, Rasulullah menyangkal penjual kuda: “Bukankan kuda sudah saya beli dan tinggal memberi ongkosnya?”. Penjual kuda berkilah: “Tunjukkan siapa saksimu jika kamu memang benar”. Nabi menjawab:  “Celaka kamu, siapa yang lebih benar dari Nabi?”. Melihat keributan itu masyarakat pada mengerumuni Nabi. Ada sahabat yang bernama Huzaimah bin Tsabit yang langsung bersaksi bahwa Nabi benar-benar membeli kuda dari pedagang kuda. Ketika ditanya kenapa kamu bersaksi demikan padahal waktu terjadi transaksi kamu tidak ada disini? Kemudian Huzaimah bin Tsabit menjawab dengan jawaban seperti di atas. Sejak saat itu kesaksian seorang Huzaimah bin Tsabit ditetapkan sebagai dua kesaksian. Maksudnya, kesaksian seorang Huzaimah bernilai ganda/dobel.
                Kesaksian ganda yang ditetapkan Nabi terhadap Huzaimah, benar-benar diterapkan oleh para sahabat.  Ketika terjadi pengumpulan al-Qur`an, Zaid bin Tsabit menganggap kesaksian hafalan Huzaimah bin Tsabit dihitung dua kesaksian lantaran ditetapkan oleh Rasulullah sebagai dua kesaksian. Huzaimah bin Tsabit memiliki logika keimanan yang sederhana tapi kuat. Kalau aku percaya bahwa yang dibawa Rasul itu benar, pasti aku percaya pada semua yang dikatakannya. Peristiwa semacam ini juga terjadi pada Abu Bakar as-Shiddiq pada kejadian isra` dan mi`raj Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Ketika orang-orang di sekitarnya tak mempercayai cerita Nabi, maka Abu Bakar dengan lantang mempercayai 100 persen apa yang dikatakan Nabi, lantaran yang bercerita adalah Nabi Muhammad shallalahu `alaihi wasallam. Sejak saat itu juga Abu Bakar diberi gelar ­as-Shiddiq(banyak membenarkan).
                Keimanan mengharuskan kepercayaan dan pembenaran yang utuh. Bukan berarti ini menafikan fakta dan akal sehat, sama sekali bukan.  Huzaimah dan Abu Bakar berdalih dengan perilaku baik seseorang untuk dijadikan sebagai bukti bahwa apa yang dikatakan pasti benar. Bagaimana mungkin orang yang terpilih seperti Nabi Muhammad berbohong sedangkan secara nyata kami tak pernah menyaksikan bahwa beliau pernah bohong, bahkan orang kafirpun mengakui kejujurannya. Dengan demikian, logika keimanan mengharuskan kita lekas taat kalau yang berbicara itu Nabi, meski tanpa menafikan fakta, karena Nabi tak mungkin berbohong. Dengan menerapkan logika keimanan ini justru meletakkan Abu Bakar sebagai sahabat terbai; dengan menerapkan logika keimanan ini justru membut kesaksian seorang Huzaimah dinilai dobel.
                Sikap dan pandangan demikian mungkin dianggap tak relevan di tengah komunitas modern yang mengedepankan rasio semata. Kita jumpai kesaksian-kesaksian palsu merebak di mana-mana. Nilai-nilai agama dieliminir sedemikian rupa demi kepentingan pribadi. Bahkan mereka yang mengaku Islam - yang berlabel liberal - acapkali melakukan tindakan ini meski jelas-jelas tahu bahwa kesaksiannya adalah palsu dan sama sekali tak ilmiah. Kesaksian yang palsu berakibat buruk bagi stabilitas keamanan dan kenyamanan suatu masyarakat. Masyarakat yang sudah terbiasa menjalankan kesaksian palsu adalah masyarakat yang memiliki kualitas dan kuantitas keimanan yang sangat rendah. Karena itu, dengan logika keimanan yang benar, kita akan mendapat ganjaran dobel. Dobel di dunia dobel di akhirat.
                Dari kisah Huzaimah bin Tsabit dan petikan kisah Abu Bakar bisa dijadikan pelajaran penting bagi siapa saja yang mengaku beriman, bahwa siapa saja yang mengaku beriman pada ajaran Allah dan Rasulullah seharusnya tidak meragukan dan menggamangkan nilai-nilai ajaran yang sudah tetap. Dengan sikap dan perilaku demikian akan memberikan keuntungan lebih. Keimanan mengharuskan kepercayaan utuh dan maksimal; keimanan mengharuskan pembenaran mutlak terhadap perintah Allah dan Nabi; keimanan mengharuskan ketaatan optimal. Bila demikian halnya, maka jangan pernah ragu bahwa pembenaran, ketaatan, dan kepercayaan yang tertanam dalam jiwa kita benar-benar akan melipat gandakan ganjaran dan keridhaan Allah pada kita. Iman yang yang mapan membuahkan kenikmatan ganda.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan