Home » » Orde Kapal Pecah

Orde Kapal Pecah

Written By Amoe Hirata on Jumat, 25 April 2014 | 05.25

           Pada akhir tahun 2013, Sarikhuluk diundang oleh Kepala Desa untuk menyampaikan orasi apa saja terkait dengan evaluasi akhir tahun. Ini bukan kali pertama Sarikhuluk disuruh menyampaikan orasi. Pada momen-memen tahunan, berkaitan dengan even-even acara kampung, Sarikhuluk selalu diamanahi untuk menyampaikan minimal sepatah dua patah kata untuk berpartisipasi menyampaikan semacam motivasi, kritikan atau ide-ide segar yang sangat mencerahkan bagi penduduk kampungnya. Sarikhuluk memang tidak berafiliasi pada ormas, aliran, golongan tertentu, namun kontribusinya pada masyarakat tidak bisa diragukan lagi. Benar dia tidak mengikat diri di mana-mana, tapi kontribusinya bisa dirasakan dimana-mana. Nah pada akhir tahun ini dia menyampaikan Orasi Akhir Tahun yang ia beri judul: “Orde Kapal Pecah”. Berikut teks dari Orasi Akhir Tahun 2013 Sarikhuluk:  

Orde Kapal Pecah

Assalamu`laikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Yang saya hormati warga kampung Jumeneng.
Yang saya hormati para Alim Ulama` beserta Tokoh Masyarakat.
Yang saya hormati Bapak Kepala Desa beserta jajaran Pengurus Desa Jumeneng.

Sebelumnya saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada anda sekalian. Sebenarnya saya tidak merasa cocok berdiri memberikan Orasi Akhir Tahun di hadapan anda sekalian. Apalah arti saya, wong SD saja tidak lulus. Tapi mengingat ini merupakan amanah, maka sedapat mungkin saya berusaha menjadi ‘manusia bermanfaat’ sesuai dengan anjuran Kanjeng Nabi yang mengajarkan pada umatnya untuk selalu berusaha bermanfaat bagi yang lainnya. Saya berdiri di hadapan anda sekalian ini sebagai manusia. Tidak sebagai Tokoh, Cendekiawan, Kiai, Ulama atau atribut apa saja yang menjadi jabatan manusia pada umumnya. Tolong bagi yang selain umat Islam jangan merasa kecil hati atau tersinggung ketika nanti dalam orasi saya ada disebutkan idiom-idiom Islam. Kalaupun ada, itu sama sekali tidak bermaksud memaksa atau membuat tidak aman bagi hati anda sekalian. Sebagai muslim dan mukmin saya mempunyai tanggung jawab moral untuk selalu berusaha menciptakan keselamatan, kesejahteraan, keamanan dan suasana nyaman bagi sekitar.

Tema yang akan saya sampaikan pada Orasi Akhir Tahun kali ini ialah: “ Orde Kapal Pecah”. Mungkin pertama kali mendengarnya, anda sekalian merasa serem dan berkesan negatif. Saya sebenarnya mengangkat tema di atas tidak direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Karena selama ini saya paling ‘buta huruf’ dengan yang namanya persiapan. Ide tema itu justru muncul ketika ada obrolan kecil-kecilan tadi malam bersama teman-teman kampung ketika bergotong-royong menyiapkan acara siang ini. “Dinasti Kapal Pecah” merupakan tema yang lahir dari kesadaran dan keprihatinan sosial menyikapi perkembangan masyarakat sekitar sebagai penduduk desa, juga rakyat Indonesia sebagai bangsa yang menempati organisasi besar bernama ‘Negara Indonesia’. Orde menggambarkan suatu kelompok atau  sistem yang menjadi dasar yang dipegang oleh suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Sedangkan Kapal Pecah tidak perlu saya jelaskan karena saya yakin anda sekalian pasti mengerti semuanya. Tapi yang saya maksud dengan istilah ‘Orde Kapal Pecah’ pada kesempatan kali ini lebih banyak bersifat konotatif(mengandung makna tautan) daripada denotatif(makna sebenarnya).

Sebelum saya berbicara khusus mengenai Orasi Akhir Tahun 2013, terlebih dahulu saya akan membuat ‘dasar pikiran’ dengan memberikan analogi sederhana disertai pengamatan sejarah awal Negara Indonesia berdiri sampai yang kita rasakan sekarang ini, tentunya dengan pembahasan yang global dan yang teranggap urgen saja.  saya menganalogikan atau membuat tamsil sederhana berkaitan dengan masyarakat pada umumnya yang mendiami Desa Jumeneng, dan yang lebih luas sebagai bangsa yang mendiami Negara Indonesia, maka saya analogikan sebagai ‘Kapal Besar’ yang sedang mengarungi samudera. Di dalamnya banyak berisi penumpang yang memiliki anekaragam karakter, budaya, dan adat-istiadat. Mareka ada di satu kapal besar dengan memiliki cita-cita sama yaitu menuju ‘daratan subur’ untuk mencapai ‘kemakmuran bersama’. Perkumpulan para generasi pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda yang dirumuskan oleh Moehammad Yamin merupakan tonggak dasar eksistensi kita sebagai bangsa, atau kalau menurut tamsil tadi adalah sebagai “Penumpang Kapal” yang mempunyai kesamaan nasib dan cita-cita kolektif untuk mendapat kemerdekaan dan kemakmuran bersama. Perjuangan mendapat hak untuk membuat kapal secara mandiri atau yang kita katakan ‘merdeka’ itu baru bisa didapatkan pada 17 Agustus 1945.

Sejak mendapat kemerdekaan, kita sudah punya yang namanya “Kapal Besar” bernama Negara Indonesia. Pada Orde Pertama yang biasa disebut Orde Lama, kita mempunyai Nahkoda yang bernama Soekarno[17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967 (21 tahun)]. Pada waktu itu kita sebagai bangsa sangat kagum dengan yang namanya Soekarno. Beliu adalah orator ulung dan pemimpin tegas yang tidak segan-segan lantang membela rakyatnya. Namun selama Orde Lama berjalan, meski hak secara politik dan kemerdekaan lumayan terpenuhi, tapi di sisi lain secar kesejahteraan masih belum dikatakan mumpuni, karena masih banyak rakyat yang tidak sejahtera.  Orde ini saya ibaratkan seperti ‘Kapal Besar’ yang tidak cukup memiliki bekal untuk menempuh perjalanan jauh. Karena kesejahteraan kurang terpenuhi, banyak di antara penumpang yang resah sehingga ada yang berusaha keluar dari kapal, ada yang membuat keributan di sana-sini sehingga membuat retakan-retakan kecil pada ‘Kapal Besar’ yang sudah ditumpangi.

21 Tahun pasca kepemimpinan Soekarno sebagai Nahkoda, kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Soeharto[12 Maret 1967 – 21 Mei 1998 (31 tahun)], masanya biasa disebut dengan Orde Baru. Pada masanya yang begitu panjang sekitar 31 tahun, Soeharto sebagai Nahkoda, berusaha menambal keretakan-keretakan yang diakibatkan respon penumpang karena keminiman bekal yang dimiliki ‘Kapal Besar’ dengan memenuhi kesejahteraan penumpang. Keretakan-keratakan yang timbul pada masa Orde Lamapun bisa ditambal dengan baik oleh Soeharto. Namun, meski telah menambal keretakan-keretakan yang terjadi pada masa Orde Lama, ternyata pada masanya timbul keretakan baru. Kalau pada masa Soeharto, kesejahteraan memang terpenuhi, namun secara kebebasan dan hak-hak politik justru bersikap otoriter, sehingga menimbulkan keretakan-keretakan baru. Para penumpang ‘Kapal Besar’ bernama Indonesia pada Orde baru, kebebasan dipasung sedemikian rupa sehingga pada puncaknya ialah melakukan demonstrasi besar-besaran atas nama reformasi yang yang mengakibatkan tumbangnya ‘Nahkoda’ Orde Baru. Sebelum tumbang Soeharto berusah mengangkat Nahkoda baru bernama Habibi sebagai penggantinya untuk menambal keretakan-keretakan yang terjadi. Namun itu tak berjalan lama, Habibi[21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999] yang memimpin hanya 17 bulan.

Pasca kepemimpinan Orde baru tumbang, tiba saatnya orde yang menamakan dirinya sebagai Orde Reformasi. Uniknya orde ini, Nahkodanya setiap 5 tahun sekali diganti sebagai antisipasi atas kekhilafan-kekhilafan yang dilakukan oleh Nahkoda Orde Lama beserta Jajaran Pejabatnya. Namunyang terjadi yang sampai 5 tahun benar hanya SBY. Niat awalnya, Orde Refromasi ialah untuk menambal keretakan yang terjadi pada masa Orde Lama. Namun, sejauh Nahkoda memimpin, dari masa Gusdur, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudoyono. Niat awal yang sebelumnya ingin menambal keretakan-keretakan yang terjadi pada masa Orde Baru, tapi realitanya berkata lain. Dari sisi kesejahteraan tak kunjung sejahtera, sedangkan dari sisi kebebasan cendrung kebablasan dan melebihi batas sehingga para Nahkoda dengan sangat bebas dikritik sedemikian rupa atas nama kebebasan pers yang lahir dari rahim Orde Reformasi. Retakan-retakan yang terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru tidak tertambal dengan baik malah menjadi semakin lebar, sehingga di tahun menjelang berakhirnya Nahkodah SBY saat ini, ‘Kapal Besar’ yang yang banyak retakan berupa Negara Indonesia ini sudah hampir pecah bahkan sudah pecah minimal secara maknawi meski secara fisik masi terus berlayar. Di era Orde Reformasi ternyata banyak menyumbangkan retakan-retakan baru yang lebih besar. Retakan itu bisa berwujud: korupsi, kebebasan yang berlebihan, ketimpangan sosial, dekadensi moral, konflik antar pejabat, terorisme, juga terjadi bencana besar-besaran di sana-sini, dari Sunami, gempa, banjir dan gunung meletus dan lain sebagainya yang turut serta membuat retakan-retakan baru yang membuat ‘Kapal Besar’ menjadi pecah.

Nah setelah saya menyampaikan sedikit ‘pikiran dasar’ dan analogi tadi, baiklah saya akan memulai Orasi Akhir Tahun 2013. Dari hasil obrolan sederhana tadi malam, saya mengibaratkan bahwa pada tahun 2013 merupakan masa “Kapal Besar” yang sudah pecah, minimal secara ruhaniyah. Pada tahun 2013 ini tingkat korupsi sudah menjalar hingga pada titik terendah dari Pejabat Negara. Saya selalu berdoa dan berharap semoga Desa Jumeneng ini tidak turut serta urun menambah keretakan “Kapal Besar” yang sudah pecah ini. Di tahun 2013 ini banyak orang-orang yang menjadi besar di media lantaran ‘sensasi’ bukan ‘prestasi’, sebut saja misalaka Aryo Wigunan yang semacamnya. Partai Politik saling sikut-sikutan dalam rangka ‘persaingan kekuasaan nahkoda` menuju tahun 2014. Banyak pemimpin-pemimpin Parpol yang tumbang lantaran kasus korupsi yang menjerat, di sana ada Anas Urbaningrum, Andi Malaranggeng, Luthfi Hasan Ishak dan lain sebagainya. KPK seakan menjadi pahlawan pada tahun 2013. Hampir setiap Instansi besar tak luput dari pengamatan KPK. Kalau para pemimpinnya seudah seperti itu, apa bisa diharapkan lagi melahirkan Nahkoda (Pemimpin Negara) dari Parpol. Di sisi lain media sebagai alat yang sangat berpengaruh dalam masyarakat, kebanyakan menyajikan tayangan-tayangan yang latah dan tidak mendidik. Orang digiring sedemikian rupa untuk menjadi bukan diri sendiri. Hiburan-biburan yang ada sangat superfisial. Yang tenar ialah yang lucu, yang masyhur ialah yang punya ratting tinggi meski tak mendidik. Akibatnya hiburan tidak lagi menjadi media pendidik malah menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang subtansial. Sebut saja misalkan hiburan yang lagi eksis saat ini misalkan: YKS(Yuk Keep Smile), di situ masyarakat dihibur sedemikian rupa dengan hiburan yang mengobrak-ngabrik hal yang subtansial. Yang ditampilkan dari musik bukan lagi yang terutama adalah musiknya, tapi goyangannya. Sebenarnya masih banyak lagi yang berkaitan dengan peristiwa sepanjang tahun 2013. Tapi menurut saya subtansinya satu yaitu: menjadikan “Kapal Besar” yang sebelumnya retak menjadi pecah. Sebagai refleksi dari tahun 2013, sasaya berharap semoga penduduk desa Jumeneng, menjadi semakin baik, kritis, tidak ikut-ikutan, menciptakan kebaikan-kebaikan pada ranah dan kemampuan masing-masing, tidak turut serta dalam ‘acara peretakan kapal’ secara kolektif yang terjadi pada Orde Reformasi. Tahun depan adalah tahun penentuan. Jika “Kapal Besar” yang pecah ini tidak direkonstruksi kembali, dalam pengertian setiap individu berusaha membangun dan merekatkan kembali “Kapal Besar” yang sudah pecah, maka jangan sedih kalau pada gilirannya “Kapal Besar” bernama Negara Indonesia ini akan karam diterjang ombak, dan tentu saja penumpangnya akan tenggelam. Jadi mulailah dari sekarang menyiapkan sampan-sampan untuk mengantisipasi pecahnya “Kapal Besar” yang terjadi. Sampan-sampan itu bisa berupa selalu berbuat baik dimanapun berada, tidak usah ikut-ikutan orang yang berusaha meretakkan “Kapal Besar”. Kalau “Kapal Besar” ini masih tetap pecah, minimal kita punya sampan-sampan yang bisa mengantarkan kita pada ‘daratan subur’, menuju ‘negara makmur’ Negara Baru yang lebih adil, sejahtera dan makmur.

Mungkin cukup sekian yang dapat saya sampaikan. Apa yang sampaikan tak harus anda percaya.  Minimal bisa dijadikan jendela untuk menatap tahun 2014. Ke depan mungkin apa yang akan kita hadapi jauh lebih berat dari pada tahun 2013. Jangan sampai kita salah pilih dalam menentuhkan “Nahkoda Kapal Besar” supaya anda sekalian tidak tenggelam.

Akhir kalam, kurang lebihnya mohon maaf. Billahit taufiq wal hidayah.
Wassalamu`alaikum warahmatullah wabarakaatuh.
[Bertepuk tanganlah semua masyarakat desa Jumeneng selepas Sarikhuluk berorasi. Dari tadi mereka terlihat tegang karena baru kali ini Sarikhuluk ngomong dari awal sampai akhir serius tanpa humor. Tidak diketahui secara pasti apa mereka benar-benar memahami orasi Sarikhuluk. Tapi yang jelas mereka terlihat tercerahkan dan tepuk tangan].
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan