Home » » Serial Korupsi Nasional

Serial Korupsi Nasional

Written By Amoe Hirata on Kamis, 24 April 2014 | 20.28

I

Bayi Prematur Korupsi
by Mahmud Budi Setiawan on Thursday, December 9, 2010 at 2:12pm

Korupsi sudah begitu menjalar
Bahkan mengakar
Bukan hanya uang
Agama, politik, ekonomi, nilai bahkan sembahyang
Yang nuduh korupsi bisa jadi pengkorup
Yang teriak korupsi barangkali penyelundup
Sedemikian kompleksnya
Hingga
Lahirlah bayi prematur korupsi
Yang disusui ibu pertiwi
Bayi itu begitu cepat lahir
Tak sabar
Menjadi penerus korupsi
Mewarisi tradiisi selama ini


II

Bila Korupsi Dianggap Kerjasama Sosial
by Mahmud Budi Setiawan on Saturday, July 17, 2010 at 7:50pm

“.Dasar ga tau di untung!. Dasar sialan!. Dasar kurang ajar!”. Berbagai cacian dan makian bertubi-tubi disematkan pada si mamat. “Mimpi apa ya semalam?”(ujar mamat)kok tiba-tiba masyarakat marah-marah ke aku, padahal aku bukan teroris, bukan perampok, bukan pembuat rusuh. Lagi kumat paling. Maklum masyarakat sini terkadang suka berlaku aneh-aneh. Kadang-kadang marah tiba-tiba tanpa sebab. Ngamuk-ngamuk sesuka hati. Apa mereka kenak kelaianan jiwa ya?. Tapi terlihat normal-normal aja tuh.

Tapi tunggu dulu, oh iya aku baru ingat seminggu yang lalu, aku sedang ngadain penelitian tentang korupsi di desaku dari tingkat lurah sampai Rt dan Rw. Sebanyak tiga ribu angket ku sebar kepada jajaran pengurus dan warga dan hasil akhir nya menyatakan bahwa mereka terbebas dari korupsi. Melihat hasil itu Mamat tertegun heran. Masalahnya selama ini praktik koropsi sudah menyebar luas baik pada jajaran pengurus desa hingga masyarakat luas. Lah kok hasil angket menyatakan warga dan pengurus bersih dari korupsi

Setelah diselidiki secara sakasama dan cermat, rupanya masyarakat mempunyai pengertian tersendiri mengenai korupsi. Korupsi bagi mereka itu teranggap jika hanya di lakukan oleh pengurus atau pejabat saja tanpa melibatkan masyarakat. Jika masing-masing saling dapat dan manfaat maka itu tak di angga korupsi. Jadi praktik-praktik korupsi yang selama ini tersebar luas dianggap sebagai kerja sama sosial. Tak ada warga yang memberontak, tak ada yang menuntut, semua diam-diam saja karena pada realitanya mereka juga menikmati.

Nah si mamat ini orangnya reaktif dan revolusioner. Dia ga mau ada praktik korupsi di desanya. Baginya korupsi membuat mental warga semakin bebal dan merusak tatanan masyarakat. Bila korupsi di biarkan maka tak lama lagi desanya akan rusak.

Sebagai luapan sikap reaktifnya, si Mamat menyewa pertunjukan wayang yang di satting sebagai kritik terhadap praktik korupsi dalam desanya. Pertunjukan itu sengaja di adakan bertepatan dengan acara memperingati HUT Republik Indonesia. Mamat mengundang kepala desa beserta pengurusnya dan warga desanya. Seperti di rencanakan, acara itu di hadiri oleh kepala desa beserta warganya. Tempat penuh dan sesak sampai-sampai ada yang berdiri.

Di mulailah pertunjukan wayang. Dalam menyikapi pertunjukan itu ada yang geram, marah, muak dan merasa tersindir. Ada juga yang sadar dan mengapresiasi. Namun sembilan puluh persen warga naik pitam, sampai-sampai ada yang langsung pulang sebelum acara selesai, ada yang melempar sandal kearah pertunjukan. Puncaknya, kepala desa dan masyarakat mencari si mamat dan mau menghakiminya. Setelah di cari-cari ternyata ga ketemu-ketemu. Akhirnya hanya umapatan dan luapan rasa marah. Mamat bersembunyi di atas pohon beringin sambil mengamati mereka marah-marah.

Dalam hati mamat bergumam:”Semoga masyarakat segera sadar, bahwa mereka berada pada tatanan korup”. “Aku sadar usahaku ini kurang efektif. Paling tidak cukup manjur untuk menyadarkan mereka. Karena untuk mengubah secara drastis dirasa sangat sulit”. “Sistem dan tatanan sudah sedemikian korup, jangan-jangan aku, kamu, dia, mereka, kalian dan kita secara sadar atau tidak sedang membantu praktik korupsi”. “Yo mboh lah”( tukas Mamat).


III

Korupsi Sistemik dan Struktural

            Hari demi hari perjalanan rezim reformasi tak kunjung mengalami perbaikan yang signifikan. Korupsi sudah sedemikian mentradisi. Bahkan mediapun tak segan untuk mengekspos seluas-luasnya. Para pejabat teras partai yang notabene menempati posisi penting dalam mewakili rakyat, satu persatu tumbang akibat skandal korupsi. Sebagai gejala, ini merupakan indikasi kerusakan sistem secara massal atau di belakangnya ada peran-peran konspirator yang secara aktif dan kontinu bergerak dibelakang layar untuk mengadudomba bangsa ini supaya mudah ditipu dan dijajah.
            Di kalangan masyarakat sekarang terjadi krisis kepercayaan yang luar biasa. Mereka sudah banyak yang tidak percaya dengan peran para pejabat, apakah mampu menahkodai kapal jabatan yang mereka tumpangi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun, alih-alih mensejahterakan, bahkan mereka sendiri terjerat dalam ranjau-ranjau korupsi yang membuat mereka terpuruk dan terjatuh. Anehnya, secara psikologis sosiologis, para pejabat yang terjerat kasus korupsi kebanyakan tidak terlihat merasa bersalah justru itu sebagai hal biasa yang wajar terjadi sebagai pejabat karena pejabat-pejabat lain juga demikian. Mereka juga mendapat perlakuan yang terhormat dan fasilitas yang layak. Bandingkan dengan mereka yang notabene adalah sebagai kaum kelas bawah (rakyat jelata) yang jika melakukan tindakan pidana akan dihukum dengan sekeras-kerasnya.
            Kalau korupsi sudah sedemikian menggejala, sedang rasa sensitifitas kritis sudah mengurang dan memudar maka jangan harap problem korupsi akan bisa diatasi dengan cepat dan masal. Sebagai virus, jika korupsi sudah menyebar pada segenap struktur dan sistem pemerintahan baik secara vertikal maupun horisontal, maka ini merupakan indikator penting bahwa korupsi sudah dilakukan secara sistemik dan struktural. Virus korupsi ini sedemikian dahsyatnya menyebar ke segenap sistem organ setiap pejabat hingga dapat meruntuhkan nilai-nilai agama yang selama ini dipegang. Bahkan yang cukup memilukan dan ironis, syi`ar-syi`ar keagamaan acap kali dipakai ketika mereka menjadi tersangka, bahkan tak jarang yang membela diri meski sejatinya salah.
            Pada level masyarakat ada yang berceloteh, “Kamu jangan sinis-sinis sama orang yang korupsi, kamu belum tentu bisa menahan godaan korupsi jika kamu menjadi pejabat seperti dia”. Pernyataan sekilas terlihat menarik dan benar, tapi kalau diamati betul-betul dan diterapkan pada masyarakat maka penyebaran virus korupsi akan semakin tidak terbendung. Daya pisau kritik yang tajam dari diri masyarakat akan semakin tumpul. Masyarakat akan kehilangan daya sensitifnya untuk menegor kesalaha yang ada, sehingga lambat laun bila virus korupsi ini sudah dilakukan secara masal tanpa ada tindakan prefentif maupun kuratif maka sudah bisa dipastikan eksistensi suatu komunitas manusia dari level yang paling rendah dan atas akan mengalami kerusakan kolektif.
            Mungkinkah korupsi yang sudah sedemikian sistemik dan struktural ini dirubah? Perubahan apapun harus dimulai dari dalam diri manusia sebagai individu. Bila dalam diri sudah tidak ada keinginan untuk berubah maka jangan harap akan ada perubahan. Perubahan membutuhkan kesadaran radikal dan mengakar dari dalam jiwa, dia tidak semerta-merta tumbuh begitu saja secara instan. Karena itu, kaitanya dengan pemberantasan korupsi dan kasus-kasus besar lain yang tak kalah dahsyat pengaruh negatifnya akan selalu mengalami kegagalan jika kesadaran telah tanggal dari dalam jiwa. Nah, untuk menciptakan kesadaran memang dibutuhkan usaha kolektif dan sinerji yang kontinu antar masyarakat. Karena itu kita akan menemukan relevansi nilai amar ma`ruf nahi munkar disini. Amar ma`ruf nahi munkar mengandung sifat kriktik membangun juga upaya perbaikan dalam jiwa langsung, sehangga metabolisme kestabilan sosial akan senantiasa terjaga dan berjalan harmonis.
            Sebagai manusia kita akui kalau kita tak terlepas dari yang namanya kesalahan. Tapi kita tidak bisa berhenti sampai di situ. Kesalahan bila dibiarkan akan menjadi virus mematikan bagi eksistensi sistem dan struktur apapun yang dijalankan manusia. Kesalahan harus dijadikan sebagai pelajaran agar tidak terjatuh pada kesalahan-kesalahan berikutnya. Kerjasama dan sinerji menemukan nilai urjensinya pada aspek ini. Kalau dalam negara ini sudah tidak ada lagi sinergi, kolektifitas kesadaran, dan kerja sama maka keinginan memberantas korupsi akan semakin mustahil dan utopis. Bilakah kita akan bebas dan membebaskan dari jerat-jerat korupsi yang sistemik dan struktural ini? Jawabannya ialah terletak pada diri kita sendiri. Maukah kita sadar? Maukah kita merevolusi diri? Kalau fakta menunjukkan tidak ada perubahan, berarti kita sudah kehilangan kesadaran kolektif, dan pada saatnya nanti akan ada istilah “Tumpeng Kerusakan Kehancuran Total”.

Sabtu 23 Pebruari 2013

IV
Korupsi “Etis” Berjama`ah.
by Mahmud Budi Setiawan on Tuesday, November 1, 2011 at 8:51pm
          Kata orang arti dari namaku ialah “cahaya”. Mendengarnya, membuatku terkekeh-kekeh dan terpingkal-pingkal. Bagaimana tidak tertawa, wong tingkah lakuku amat rusak; bahkan, aku sudah dapat  titel penghargaan, “orang bejat” dari orang sekampung. Lebih pantasnya, mungkin aku lebih pas disebut  si Peteng(bukan si Pitong lho yah) alias: “gelap”, yang kata seorang ustadz bahasa Arabnya Asd-Dzalam.
          Orang seperti aku ini mungkin ga pantes disejajarkan sama orang-orang ahli masjid, yang dikenal alim dan suci; ga pas, kalau digandengkan sama orang-orang aktifis pengajian yang suka mendengar nasehat-nasehat pak ustadz dan pak yai. Bahkan, sebanyak apapun aku beramal pasti akan dianggap ga ada gunanya wong aku sudah dicap konconya Iblis kok.
          Boleh dibilang aku termasuk korban pencritraan. Gara-gara aku pernah dipenjara karena kasus pencurian, sejak saat itu juga dicap menjadi penjahat. Setiap aku mau bangkit selalu diremehkan; selalu direndahkan. Padahal, mereka ga pernah tahu atau memang pura-pura ga tahu alasan aku mencuri. Coba anda pikirkan, jika anda dihadapkan pada kondisi sangat sulit dimana mengharuskan anda  mencuri karena tidak ada jalan keluar lagi? Kalau anda tidak mencuri,nyawa teman anda akan melayang? Jawabanya mungkin berbeda-beda tapi yang pasti kalau pikiran masih waras dan sehat pasti akan tidak menyalahkan apa yang ku lakukan.
           Barangkali sudah nasibku, tidak baik di mata orang; tidak akan benar menurut mereka. Tapi hati kecilku seolah dengan tegar menasehatiku:”boleh orang menganggap kamu bejat; menganggap kamu jahat, tapi perlu kamu ingat bahwa ada Dzat yang Maha Obyektif yang tidak akan pernah salah dalam menilai, tidak akan pernah keliru dalam memutuskan”.
          Sejak saat itu, aku berusah bergumul dengan orang-orang yang dianggap rusak. Pada kenyataanya, setelah lama ku bergaul dengan mereka, aku temukan kenyataan yang membuatku ta`jub. Serusak-rusaknya mereka; sebejat-bejatnya mereka ternyata masih memiliki cahaya nurani, cahaya ketulusan, yang dapat mengontrol mereka melakukan perbuatan biadab.Terakhir aku tahu bahwa mereka menjadi korban sepertiku juga.
          Kadang aku tertawa melihat kenyataan yang sedang rame sekarang. Kejahatan bisa dinilai baik hanya karena pelakunya seorang terpelajar dan tamatan pondok. Keburukan dianggap lumrah hanya karena yang melakukan adalah seorang  tokoh penting. Akibatnya, mungkin banyak kejahatan menyebar dengan pesat karena si pelaku ini sudah dicap baik oleh kebayakan orang. Maka jangan heran kalau muncul kejadian-kejadian anah tapi nyata di sekeliling kita atau bahkan negara kita yang tercinta ini.
          Aku lihat, aku baca, aku dengar di berbagai media banyak yang menyetujui statemenku. Korupsi sudah dilakukan secara “etis” dan berjama`ah. Pemerkosaan dilakukan secara “santun” dan berjama`ah. Pembunuhan dilakukan secara beradab dan massal. Harta-harta orang kere macam kita dirampok secara sopan dan berjama`ah. Itu semua bisa terjadi hanya karena mereka sudah kadung mendapat stempel baik dari kebanyakan orang meski sejatinya sungguh biadab. Aku sampai bayangin gimana ya kalau sampai aku yang melakukan semua itu, wong ngelakuin baik saja dianggap jahat?.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan