I
Bayi Prematur Korupsi
by Mahmud Budi Setiawan on Thursday, December 9, 2010 at
2:12pm
Korupsi sudah begitu menjalar
Bahkan mengakar
Bukan hanya uang
Agama, politik, ekonomi, nilai bahkan sembahyang
Yang nuduh korupsi bisa jadi pengkorup
Yang teriak korupsi barangkali penyelundup
Sedemikian kompleksnya
Hingga
Lahirlah bayi prematur korupsi
Yang disusui ibu pertiwi
Bayi itu begitu cepat lahir
Tak sabar
Menjadi penerus korupsi
Mewarisi tradiisi selama ini
II
Bila Korupsi Dianggap Kerjasama Sosial
by Mahmud Budi Setiawan on Saturday, July 17, 2010 at 7:50pm
“.Dasar ga tau di untung!. Dasar
sialan!. Dasar kurang ajar!”. Berbagai cacian dan makian bertubi-tubi
disematkan pada si mamat. “Mimpi apa ya semalam?”(ujar mamat)kok tiba-tiba
masyarakat marah-marah ke aku, padahal aku bukan teroris, bukan perampok, bukan
pembuat rusuh. Lagi kumat paling. Maklum masyarakat sini terkadang suka berlaku
aneh-aneh. Kadang-kadang marah tiba-tiba tanpa sebab. Ngamuk-ngamuk sesuka
hati. Apa mereka kenak kelaianan jiwa ya?. Tapi terlihat normal-normal aja tuh.
Tapi tunggu dulu, oh iya aku baru
ingat seminggu yang lalu, aku sedang ngadain penelitian tentang korupsi di
desaku dari tingkat lurah sampai Rt dan Rw. Sebanyak tiga ribu angket ku sebar
kepada jajaran pengurus dan warga dan hasil akhir nya menyatakan bahwa mereka
terbebas dari korupsi. Melihat hasil itu Mamat tertegun heran. Masalahnya
selama ini praktik koropsi sudah menyebar luas baik pada jajaran pengurus desa
hingga masyarakat luas. Lah kok hasil angket menyatakan warga dan pengurus
bersih dari korupsi
Setelah diselidiki secara
sakasama dan cermat, rupanya masyarakat mempunyai pengertian tersendiri
mengenai korupsi. Korupsi bagi mereka itu teranggap jika hanya di lakukan oleh
pengurus atau pejabat saja tanpa melibatkan masyarakat. Jika masing-masing
saling dapat dan manfaat maka itu tak di angga korupsi. Jadi praktik-praktik
korupsi yang selama ini tersebar luas dianggap sebagai kerja sama sosial. Tak
ada warga yang memberontak, tak ada yang menuntut, semua diam-diam saja karena
pada realitanya mereka juga menikmati.
Nah si mamat ini orangnya reaktif
dan revolusioner. Dia ga mau ada praktik korupsi di desanya. Baginya korupsi
membuat mental warga semakin bebal dan merusak tatanan masyarakat. Bila korupsi
di biarkan maka tak lama lagi desanya akan rusak.
Sebagai luapan sikap reaktifnya,
si Mamat menyewa pertunjukan wayang yang di satting sebagai kritik terhadap
praktik korupsi dalam desanya. Pertunjukan itu sengaja di adakan bertepatan
dengan acara memperingati HUT Republik Indonesia. Mamat mengundang kepala desa
beserta pengurusnya dan warga desanya. Seperti di rencanakan, acara itu di
hadiri oleh kepala desa beserta warganya. Tempat penuh dan sesak sampai-sampai
ada yang berdiri.
Di mulailah pertunjukan wayang.
Dalam menyikapi pertunjukan itu ada yang geram, marah, muak dan merasa
tersindir. Ada juga yang sadar dan mengapresiasi. Namun sembilan puluh persen
warga naik pitam, sampai-sampai ada yang langsung pulang sebelum acara selesai,
ada yang melempar sandal kearah pertunjukan. Puncaknya, kepala desa dan
masyarakat mencari si mamat dan mau menghakiminya. Setelah di cari-cari
ternyata ga ketemu-ketemu. Akhirnya hanya umapatan dan luapan rasa marah. Mamat
bersembunyi di atas pohon beringin sambil mengamati mereka marah-marah.
Dalam hati mamat bergumam:”Semoga
masyarakat segera sadar, bahwa mereka berada pada tatanan korup”. “Aku sadar
usahaku ini kurang efektif. Paling tidak cukup manjur untuk menyadarkan mereka.
Karena untuk mengubah secara drastis dirasa sangat sulit”. “Sistem dan tatanan
sudah sedemikian korup, jangan-jangan aku, kamu, dia, mereka, kalian dan kita
secara sadar atau tidak sedang membantu praktik korupsi”. “Yo mboh lah”( tukas
Mamat).
III
Korupsi Sistemik dan Struktural
Hari
demi hari perjalanan rezim reformasi tak kunjung mengalami perbaikan yang
signifikan. Korupsi sudah sedemikian mentradisi. Bahkan mediapun tak segan
untuk mengekspos seluas-luasnya. Para pejabat teras partai yang notabene
menempati posisi penting dalam mewakili rakyat, satu persatu tumbang akibat
skandal korupsi. Sebagai gejala, ini merupakan indikasi kerusakan sistem secara
massal atau di belakangnya ada peran-peran konspirator yang secara aktif dan
kontinu bergerak dibelakang layar untuk mengadudomba bangsa ini supaya mudah
ditipu dan dijajah.
Di
kalangan masyarakat sekarang terjadi krisis kepercayaan yang luar biasa. Mereka
sudah banyak yang tidak percaya dengan peran para pejabat, apakah mampu
menahkodai kapal jabatan yang mereka tumpangi untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Namun, alih-alih mensejahterakan, bahkan mereka sendiri terjerat dalam
ranjau-ranjau korupsi yang membuat mereka terpuruk dan terjatuh. Anehnya,
secara psikologis sosiologis, para pejabat yang terjerat kasus korupsi kebanyakan
tidak terlihat merasa bersalah justru itu sebagai hal biasa yang wajar terjadi
sebagai pejabat karena pejabat-pejabat lain juga demikian. Mereka juga mendapat
perlakuan yang terhormat dan fasilitas yang layak. Bandingkan dengan mereka
yang notabene adalah sebagai kaum kelas bawah (rakyat jelata) yang jika
melakukan tindakan pidana akan dihukum dengan sekeras-kerasnya.
Kalau
korupsi sudah sedemikian menggejala, sedang rasa sensitifitas kritis sudah
mengurang dan memudar maka jangan harap problem korupsi akan bisa diatasi
dengan cepat dan masal. Sebagai virus, jika korupsi sudah menyebar pada segenap
struktur dan sistem pemerintahan baik secara vertikal maupun horisontal, maka
ini merupakan indikator penting bahwa korupsi sudah dilakukan secara sistemik
dan struktural. Virus korupsi ini sedemikian dahsyatnya menyebar ke segenap
sistem organ setiap pejabat hingga dapat meruntuhkan nilai-nilai agama yang
selama ini dipegang. Bahkan yang cukup memilukan dan ironis, syi`ar-syi`ar
keagamaan acap kali dipakai ketika mereka menjadi tersangka, bahkan tak jarang
yang membela diri meski sejatinya salah.
Pada
level masyarakat ada yang berceloteh, “Kamu jangan sinis-sinis sama orang yang
korupsi, kamu belum tentu bisa menahan godaan korupsi jika kamu menjadi pejabat
seperti dia”. Pernyataan sekilas terlihat menarik dan benar, tapi kalau diamati
betul-betul dan diterapkan pada masyarakat maka penyebaran virus korupsi akan
semakin tidak terbendung. Daya pisau kritik yang tajam dari diri masyarakat
akan semakin tumpul. Masyarakat akan kehilangan daya sensitifnya untuk menegor
kesalaha yang ada, sehingga lambat laun bila virus korupsi ini sudah dilakukan
secara masal tanpa ada tindakan prefentif maupun kuratif maka sudah bisa
dipastikan eksistensi suatu komunitas manusia dari level yang paling rendah dan
atas akan mengalami kerusakan kolektif.
Mungkinkah
korupsi yang sudah sedemikian sistemik dan struktural ini dirubah? Perubahan
apapun harus dimulai dari dalam diri manusia sebagai individu. Bila dalam diri
sudah tidak ada keinginan untuk berubah maka jangan harap akan ada perubahan.
Perubahan membutuhkan kesadaran radikal dan mengakar dari dalam jiwa, dia tidak
semerta-merta tumbuh begitu saja secara instan. Karena itu, kaitanya dengan
pemberantasan korupsi dan kasus-kasus besar lain yang tak kalah dahsyat
pengaruh negatifnya akan selalu mengalami kegagalan jika kesadaran telah
tanggal dari dalam jiwa. Nah, untuk menciptakan kesadaran memang
dibutuhkan usaha kolektif dan sinerji yang kontinu antar masyarakat. Karena itu
kita akan menemukan relevansi nilai amar ma`ruf nahi munkar disini. Amar
ma`ruf nahi munkar mengandung sifat kriktik membangun juga upaya perbaikan
dalam jiwa langsung, sehangga metabolisme kestabilan sosial akan senantiasa
terjaga dan berjalan harmonis.
Sebagai
manusia kita akui kalau kita tak terlepas dari yang namanya kesalahan. Tapi
kita tidak bisa berhenti sampai di situ. Kesalahan bila dibiarkan akan menjadi
virus mematikan bagi eksistensi sistem dan struktur apapun yang dijalankan
manusia. Kesalahan harus dijadikan sebagai pelajaran agar tidak terjatuh pada
kesalahan-kesalahan berikutnya. Kerjasama dan sinerji menemukan nilai
urjensinya pada aspek ini. Kalau dalam negara ini sudah tidak ada lagi sinergi,
kolektifitas kesadaran, dan kerja sama maka keinginan memberantas korupsi akan
semakin mustahil dan utopis. Bilakah kita akan bebas dan membebaskan dari
jerat-jerat korupsi yang sistemik dan struktural ini? Jawabannya ialah terletak
pada diri kita sendiri. Maukah kita sadar? Maukah kita merevolusi diri? Kalau
fakta menunjukkan tidak ada perubahan, berarti kita sudah kehilangan kesadaran
kolektif, dan pada saatnya nanti akan ada istilah “Tumpeng Kerusakan Kehancuran
Total”.
Sabtu 23 Pebruari 2013
IV
Korupsi “Etis” Berjama`ah.
by Mahmud Budi Setiawan on Tuesday, November 1, 2011 at 8:51pm
Kata orang arti dari
namaku ialah “cahaya”. Mendengarnya, membuatku terkekeh-kekeh dan
terpingkal-pingkal. Bagaimana tidak tertawa, wong tingkah lakuku amat
rusak; bahkan, aku sudah dapat titel penghargaan, “orang bejat” dari
orang sekampung. Lebih pantasnya, mungkin aku lebih pas disebut si
Peteng(bukan si Pitong lho yah) alias: “gelap”, yang kata seorang ustadz bahasa
Arabnya Asd-Dzalam.
Orang seperti aku
ini mungkin ga pantes disejajarkan sama orang-orang ahli masjid, yang dikenal
alim dan suci; ga pas, kalau digandengkan sama orang-orang aktifis pengajian
yang suka mendengar nasehat-nasehat pak ustadz dan pak yai. Bahkan, sebanyak
apapun aku beramal pasti akan dianggap ga ada gunanya wong aku sudah dicap
konconya Iblis kok.
Boleh dibilang aku
termasuk korban pencritraan. Gara-gara aku pernah dipenjara karena kasus
pencurian, sejak saat itu juga dicap menjadi penjahat. Setiap aku mau bangkit
selalu diremehkan; selalu direndahkan. Padahal, mereka ga pernah tahu atau
memang pura-pura ga tahu alasan aku mencuri. Coba anda pikirkan, jika anda
dihadapkan pada kondisi sangat sulit dimana mengharuskan anda mencuri
karena tidak ada jalan keluar lagi? Kalau anda tidak mencuri,nyawa teman anda
akan melayang? Jawabanya mungkin berbeda-beda tapi yang pasti kalau pikiran
masih waras dan sehat pasti akan tidak menyalahkan apa yang ku lakukan.
Barangkali
sudah nasibku, tidak baik di mata orang; tidak akan benar menurut mereka. Tapi
hati kecilku seolah dengan tegar menasehatiku:”boleh orang menganggap kamu
bejat; menganggap kamu jahat, tapi perlu kamu ingat bahwa ada Dzat yang Maha
Obyektif yang tidak akan pernah salah dalam menilai, tidak akan pernah keliru
dalam memutuskan”.
Sejak saat itu, aku
berusah bergumul dengan orang-orang yang dianggap rusak. Pada kenyataanya,
setelah lama ku bergaul dengan mereka, aku temukan kenyataan yang membuatku
ta`jub. Serusak-rusaknya mereka; sebejat-bejatnya mereka ternyata masih
memiliki cahaya nurani, cahaya ketulusan, yang dapat mengontrol mereka
melakukan perbuatan biadab.Terakhir aku tahu bahwa mereka menjadi korban
sepertiku juga.
Kadang aku tertawa
melihat kenyataan yang sedang rame sekarang. Kejahatan bisa dinilai baik hanya
karena pelakunya seorang terpelajar dan tamatan pondok. Keburukan dianggap
lumrah hanya karena yang melakukan adalah seorang tokoh penting.
Akibatnya, mungkin banyak kejahatan menyebar dengan pesat karena si pelaku ini
sudah dicap baik oleh kebayakan orang. Maka jangan heran kalau muncul
kejadian-kejadian anah tapi nyata di sekeliling kita atau bahkan negara kita
yang tercinta ini.
Aku lihat, aku baca,
aku dengar di berbagai media banyak yang menyetujui statemenku. Korupsi sudah
dilakukan secara “etis” dan berjama`ah. Pemerkosaan dilakukan secara “santun”
dan berjama`ah. Pembunuhan dilakukan secara beradab dan massal. Harta-harta
orang kere macam kita dirampok secara sopan dan berjama`ah. Itu semua bisa
terjadi hanya karena mereka sudah kadung mendapat stempel baik dari kebanyakan
orang meski sejatinya sungguh biadab. Aku sampai bayangin gimana ya kalau
sampai aku yang melakukan semua itu, wong ngelakuin baik saja dianggap
jahat?.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !