Di zaman yang serba instan ini, manusia pada umumnya semakin sulit untuk menanamkan kesabaran dalam hatinya. Kalau dahulu sebelum manusia belum terkontaminasi dengan budaya instan, setiap kali menginginkan sesuatu selalu menghargari dan berusaha sabar menjalani proses yang mengantarkannya pada tujuan. Betul memang dalam proses itu ada kekesalan, kesusahan, kesedihan, ketabahan, tapi justru itulah yang sebenarnya menyajikan kenikmatan dalam hati. Kita bisa melihat pada berbagai sektor kehidupan masyarakat kita pada umumnya. Ada fenomena ‘artis dadakan’ yang tiba-tiba menjadi besar bukan karena kualifikasi kompetitif yang dimilikinya, tapi karena dibesarkan oleh media secara instan lantaran ada keunikan yang tersimpan pada dirinya. Ada juga “Kiai Artis” yang tiba-tiba menjadi Kiai atau disebut Ustadz, lantaran kepiawaiannya dalam retorika atau keunikan yang dimilikinya, bukan karena kualitas ilmu dan kearifan yang dimilikinya. Ada fenomena “Pemimpin Karbidan” yang bisa diproduksi dari media nyaleg, nyapres dan lain sebagainya di mana berusaha memampang baleho sedemikian banyaknya, atau dengan media lain, supaya cepat melejitkan namanya. Kepemimpinan tidak diukur lagi dari kontribusi dan integritas dirinya secara sosial, tetapi dipilih karena hal-hal yang sebenarnya tidak inti. Bisa karena gantengnya, blusukannya, kayanya, popularitasnya, gaya nyentriknya, dan lain sebagainya.
Ada fenomena lain yang berkaitan dengan para remaja berupa “Uji Cinta” yang termanifestasikan melalui cara instan berupa ‘pacaran’ untuk mengetahui ketulusan dan kesungguhan cinta dari masing-masing pihak yang sedang pacaran. Caranya bisa bermacam-macam: jalan bareng, nge-date bareng, janjian di suatu tempat, bahkan sampai cium-ciuman, pegang-pegangan, dan tak jarang yang merelakan keperjakaan dan keperawanannya atas nama “uji cinta”. Tidak ada lagi kesabaran untuk menunggu pada waktu yang tepat, sehingga ketika waktunya nanti tiba, yang dirasakan bukan lagi kenikmatan tapi penyesalan dan sama sekali tak berkesan. Kenikmatan yang diambil secara instan, pada akhirnya hanya menimbulkan penyesalan. Buah yang dipetik sebelum waktunya masak maka rasanya tak akan nikmat. Buah yang masak karena karbida, dengan yang masak karena faktor alamiah makan sangat berbeda rasanya. Fenomena inilah yang pada gilirannya akan menjadi sorotan penulis.
Ada fenomena lain yang berkaitan dengan para remaja berupa “Uji Cinta” yang termanifestasikan melalui cara instan berupa ‘pacaran’ untuk mengetahui ketulusan dan kesungguhan cinta dari masing-masing pihak yang sedang pacaran. Caranya bisa bermacam-macam: jalan bareng, nge-date bareng, janjian di suatu tempat, bahkan sampai cium-ciuman, pegang-pegangan, dan tak jarang yang merelakan keperjakaan dan keperawanannya atas nama “uji cinta”. Tidak ada lagi kesabaran untuk menunggu pada waktu yang tepat, sehingga ketika waktunya nanti tiba, yang dirasakan bukan lagi kenikmatan tapi penyesalan dan sama sekali tak berkesan. Kenikmatan yang diambil secara instan, pada akhirnya hanya menimbulkan penyesalan. Buah yang dipetik sebelum waktunya masak maka rasanya tak akan nikmat. Buah yang masak karena karbida, dengan yang masak karena faktor alamiah makan sangat berbeda rasanya. Fenomena inilah yang pada gilirannya akan menjadi sorotan penulis.
Kalau cinta pada
cewek/cowok itu diibaratkan sebagaimana buah yang belum masak, maka cinta tidak
akan ku petik sampai cinta itu masak hingga di pelaminan. Kalau ada orang
bilang atas nama cinta, lantas menghalalkan yang namanya pacaran, dengan
ungkapan, ‘buktikan kalau kamu benar-benar cinta! Mari kita berpacaran untuk
menemukan kecocokan di antara kita’, jangan pernah diturutin, karena dalam
kondisi demikian cinta tidak lagi murni, hawa nafsulah yang menjadi lakon utama
yang menyetir arahnya. Dengan bahasa lain – kalau memang buah atau cinta itu
harus dipetik laksana buah, katakanlah: Izinkan aku memetikmu ketika sudah
masak. Aku tidak akan memetik lalu mempercepat kematanganmu secara instan,
karena ku yakin akan tiba saatnya dimana Tuhan akan mematangkan dirimu, aku
ingin memetikmu ketika kamu benar-benar masak. Ketika momentum ‘masak/matang’
itu tiba maka kenikmatan yang selama ini diidamkan akan benar-benar nikmat.
Akan timbul harmoni, romansa indah ketika betul-betul dipetik pada saatnya.
Itulah sebabnya kita menemukan titik temu, mengapa Islam melarang menjual
belikan buah sebelum waktu layak panen, ini karena di samping faktor
ketidaknikmatan, juga ada yang namanya faktor lain yang tidak kalah pentingnya
yaitu ada unsur memaksakan sesuat yang belum seharunya dipetik. Ini sebagai
gambaran penting mengenai ketidaksabaran seseorang untuk menunggu proses, dan
menginginkan sesuatu secara instan.
Berikut ini
ada cerita faktual menarik yang sangat bertalian erat dengan: indahnya
menikmati sesuatu pada waktunya. Pada hakikatnya cerita ini merupakan inspirasi
dari kisah nyata, meskipun nanta diceritakan dengan nama samaran, tentu saja
untuk menjaga aib sekaligus juga berusah mengambil pelajaran darinya:
[Johan atau yang dipanggil
dengan, ‘Jo’, adalah pemuda yang ganteng dan hidup berkecukupan. Ia lahir dari
keluarga taat beragama. Sejak kecil dia rajin mengaji dan aktif dalam
kegiatan-kegiatan ormas keagamaan. Di daerahnya, ia merupakan pemuda yang
organisatoris dan supel. Dari kecil –karena lahir dari keluarga yang taat
beragama- ia sangat menjaga yang namanya hubungan lawan jenis. Rutinitasnya
sehari-hari berjalan seperti biasa, sampai pada akhirnya ketika dia sekolah di SMA,
Ia menglami guncangan serius dalam keluarganya. Ayahnya, yang sejak kecil dia
hormati dan dia sayangi sedemekian rupa, ternyata berbuat khilaf berupa serong
dengan wanita lain. Kkehidupan rumah tangga yang sebelumnya aden dan tentrem
diliputi dengan pertengkaran demi pertengkaran yang tentu saja mengusik hati
Johan sebagai laki-laki yang sedeng bertumbuh dewasa. Peristiwa itu ternyata
berdampak serius pada Johan. Johan yang sebelumnya merupakan anak muda yang
taat beragama dan sangat menjaga hubungan lawan jenis, akhirnya mencari
pelampiasan lain untuk mengobati kegalauan hatinya. Dia mulai mencoba-coba yang
namanya pacaran, hidup bebas bersama lawan jenis. Ia sering berganti-ganti
pacar sampa lebih dari sepuluh kali. Lama-kelamaan, karena dosa demi dosa sudah
menutup hatinya, akhirnya dia tidak merasa risih dan salah ketika berpacaran.
Padahal ketika dia melanjutkan studinya, bapak dan ibunya sudah relatif baikan
dan tidak ada masalah berarti.
Pacaran demi pacaran yang dia
alami dan lakoni, pada akhirnya mengarahkan dirinya kepada rasa penasaran ingin
mencoba yang kenikmatan bersetubuh dengan pacarnya. Pacarnya yang terakhir
bernama Salma(nama samaran). Pada saat di mana hasrat birahi behitu menguasai
hati, akhirnya pada waktu liburan kuliah, ia nekat mengajak Salma pergi ke
puncak. Tentu saja bisa ditebak, apa yang akan dilakukan oleh dua insan
muda-mudi yang sedang dilanda kasmaran di puncak. Di sana tidak ada batas,
tidak ada yang mengawasi, saat itulah setan membisikinya dengan sengat
halusnya: “Ayo cepat lakukan saja, mumpung ada kesempatan, lagian Salma kan
pacarmu, kalaupun nanti hamil, kamu akan bertanggung jawab sebagai ayahnya”.
Akhirnya pertahanan keimanannyapun jebol, hasrat dan nafsunya membimbingnya ke
arah maksiat. Sampai akhirnya keduanya tidak merasa risih, sedih setiap kali
melakukan hubungan lawan jenis. Hal itu dilakukan berkali-kali, meski pada
akhirnya juga terbit dari hatinya rasa penyesalan yang begitu mendalam.
Hari-harinya dihabiskan dengan berfoya-foya dan melakukan kemaksiatan, tentu
saja tanpa sepengetahuan ayahnya.
Hari demi hari ternyata tidak
ada perkembangan yang berarti. Sampai akhirnya Jo, kenal dengan seorang ‘teman
jalanan unik’ bernama Harianto. Harianto adalah tipikal pemuda yang mandiri,
ulet, giat, berkemauan keras, dan sangat taat beragama. Pertemuanya dengan
harianto juga tidak disengaja. Pertemuan terjadi ketika Harianto sedang
menjalankan kerja serabutannya menjadi Tukang Parkir. Ketika Jo, ingin
memarkirkan mobilnya di rumah makan bersama Salma, dengan sangat terampil,
cekatan dan sopan Harianto mempersilahkan Jo memarkir mobilnya. Setelah selesai
makan-makan, Jo keluar lalu menyetir mobilnya keluar dibantu oleh Harianto dari
belakang. Sesudah itu, karena Jo tidak punya uang receh seribuan, akhirnya dia
memberinya uang sepuluh ribu, sambil berkata: “udah mas ini sepuluh ribu, ambil
saja kembaliannya, saya tidak punya uang receh soalnya”. Dengan senyuman
khasnya, Harianto menjawab: “Ooo...ya sudah mas, kalau memang tidak punya uang
receh ya ndak usah bayar, biar Allah sendiri nanti yang membayar saya dengan
cara-Nya”. Jawaban Harianto begitu menyentak alam bawah sadar Jo, selama ini
orang yang dia beri uang lantaran ga ada uang receh, dengan senang hati akan
menerima, bahkan tak jarang juga yang malah menipu dia dengan alasan yang
bermacam-macam. Kesan pertama Jo pada Harianto ialah: Unik, Sopan sekaligus
menukik kesadaran.
Singkat cerita, bulan demi
bulan dia berusaha mencari siapa sebenarnya Harianto. Akhirnya ketemu juga dan
pertemuan itu membuat Jo semakin kagum dengan kepribadian Harianto. Melihat
Harianto, membuatnya teringat ketika Ia masih aktif dalam kegiatan-kegiatan
sosial, dan tentu saja sangat menjaga hubungan lawan jenis. Sangat lain dengan
dirinya sekarang. Meskipun orang tuanya tidak mengerti kelakuan Jo yang
sekarang, tapi Ia sadar bahwa Ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri, apalagi sama Allah.
Singkatnya, pertemuan dengan Harianto membuat Jo lambat laun berubah drastis,
dan mengembalikan hidupnya pada saat masa-masa ketaatannya. Namun Jo selalu
merasa bersalah dan menyesal, terlebih ketika ada yang bilang kalau dosa zina
itu berat, zina adalah dosa besar. Ia secara pribadi sebenarnya ingin bertaubat
dan berubah, tapi di saat yang sama, dirinya dan Salama diliputi penyesalan
yang begitu mendalam. Sebagai sahabat, Harianto menyarankan: Apa yang terjadi
biarlah terjadi. Yang penting kamu sekarang sudah mau taubat secara
sungguh-sungguh insyaAllah Allah akan menerima taubatmu. Segera lamar dia lalu
nikah! Jangan mengulur waktu lagi, supaya kamu tidak semakain jauh dari
batas-batas Allah.
Jo dan Salma pun akhirnya
menikah seperti nasehat dari Harianto. Yang menarik dijadikan catatan di sini
ialah pada saat malam pertama. Kalau pada umumnya, orang yang sedang malam
pertama itu diliputi oleh rasa kegembiraan dan penasaran, lain lagi dengan Jo
dan Salma. Jo dan Salma hanya bengong dan diam. Tidak tahu mau melakukan apa.
Kalau melakukan hubungan suami istri, itu sudah menjadi hal biasa karena,
mereka sebelum menikah sudah sering merasakannya. Tidak ada sidikitpun dari
keduanya rasa penasaran. Mereka merasakan malam pertama seperti malam biasa.
Karena kenikmatan-kenikmatan yang seharusnya hanya boleh dinikmati ketika malam
pertama, sudah diambil sejak dini. Jo dan Salma akhirnya merayakan malam
pertama dengan isak tangis penyesalan yang mendalam. Ia baru mengerti, kenapa
sejak dahulu Kiainya selalu menyarankan untuk menjaga hubungan lawan jenis, dan
jangan sampai pacaran. Ibaratnya ia sudah keburu memetik buah sebelum panen,
akibatnya rasa sesallah yang dia rasakan sekarang. Demikian juga Salma,
mengingat kejadian-kejadian yang telah lalu, membuatnya semakin menangis
menjadi-jadi. Malam pertama mereka tak melakukan apa-apa kecuali penyesalan
yang begitu mendalam dan berteubat.
Keduanya meratap dan mengadu pada Allah pada sepertiga malam, untuk
meminta ampun dan berdoa kepada-Nya: Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami,
kami telah melakukan dosa besar, jadikanlah kami insaf, dan peliharalah anak
cucu kami agar terhindar dari perbuatan keji yang kami lakukan.]
Cerita
di atas sebenarnya sangat bertalian erat dengan budaya ‘cinta instan’ para
remaja yang dilakukan melalui sarana pacaran. Kalian yang pacaran memang
sekarang terasa nikmat, enjoy, dan dunia serasa milik berdua. Tapi lihat nanti
ketika takdir cinta mengantarkan anda sampai ke pelaminan,
kenikmatan-kenikmatan ketika menjadi suami istri akan terasa hambar dan biasa,
karena sudah diborong ketika belum menjadi suami istri. Inilah rahasia mengapa
Islam sangat ketat dalam hal hubungan lawan jenis. Pandangan saja suruh dijaga
apalagi sampai pacaran, tambah lebih parah. Ketaatan pada perintah Allah pasti
akan membuahkan kenikmatan, sedangkan kemaksiatan hanya akan menimbulkan dampak
penyesalan dan kesengsaraan di kemudian hari. Masalahnya sekarang ialah bagi anda
yang sedang menjalin hubungan, maka apakah hati anda tidak terketuk dengan
kisah di atas? Adapun yang masih belum pernah pacaran atau yang ada niatan
pacaran, segera dipikir ulang sebelum kalian menyesal. Mulai sekarang katakan
dengan berani dan jujur pada hati dan sanubarimu: “Cinta, Izinkan Aku Memetikmu
Ketika Tiba Saatnya”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !