Home » » Cinta! Izinkan Aku Memetikmu ketika Tiba Saatnya

Cinta! Izinkan Aku Memetikmu ketika Tiba Saatnya

Written By Amoe Hirata on Kamis, 24 April 2014 | 20.41

Di zaman yang serba instan ini, manusia pada umumnya semakin sulit untuk menanamkan kesabaran dalam hatinya. Kalau dahulu sebelum manusia belum terkontaminasi dengan budaya instan, setiap kali menginginkan sesuatu selalu menghargari dan berusaha sabar menjalani proses yang mengantarkannya pada tujuan. Betul memang dalam proses itu ada kekesalan, kesusahan, kesedihan, ketabahan, tapi justru itulah yang sebenarnya menyajikan kenikmatan dalam hati. Kita bisa melihat pada berbagai sektor kehidupan masyarakat kita pada umumnya. Ada fenomena ‘artis dadakan’ yang tiba-tiba menjadi besar bukan karena kualifikasi kompetitif yang dimilikinya, tapi karena dibesarkan oleh media secara instan lantaran ada keunikan yang tersimpan pada dirinya. Ada juga “Kiai Artis” yang tiba-tiba menjadi Kiai atau disebut Ustadz, lantaran kepiawaiannya dalam retorika atau keunikan yang dimilikinya, bukan karena kualitas ilmu dan kearifan yang dimilikinya. Ada fenomena “Pemimpin Karbidan” yang bisa diproduksi dari media nyaleg, nyapres  dan lain sebagainya di mana berusaha memampang baleho sedemikian banyaknya, atau dengan media lain, supaya cepat melejitkan namanya. Kepemimpinan tidak diukur lagi dari kontribusi dan integritas dirinya secara sosial, tetapi dipilih karena hal-hal yang sebenarnya tidak inti. Bisa karena gantengnya, blusukannya, kayanya, popularitasnya, gaya nyentriknya, dan lain sebagainya.
Ada fenomena lain yang berkaitan dengan para remaja berupa “Uji Cinta” yang termanifestasikan melalui cara instan berupa ‘pacaran’ untuk mengetahui ketulusan dan kesungguhan cinta dari masing-masing pihak yang sedang pacaran. Caranya bisa bermacam-macam: jalan bareng, nge-date bareng, janjian di suatu tempat, bahkan sampai cium-ciuman, pegang-pegangan, dan tak jarang yang merelakan keperjakaan dan keperawanannya atas nama “uji cinta”. Tidak ada lagi kesabaran untuk menunggu pada waktu yang tepat, sehingga ketika waktunya nanti tiba, yang dirasakan bukan lagi kenikmatan tapi penyesalan dan sama sekali tak berkesan. Kenikmatan yang diambil secara instan, pada akhirnya hanya menimbulkan penyesalan. Buah yang dipetik sebelum waktunya masak maka rasanya tak akan nikmat. Buah yang masak karena karbida, dengan yang masak karena faktor alamiah makan sangat berbeda rasanya. Fenomena inilah yang pada gilirannya akan menjadi sorotan penulis.
Kalau cinta pada cewek/cowok itu diibaratkan sebagaimana buah yang belum masak, maka cinta tidak akan ku petik sampai cinta itu masak hingga di pelaminan. Kalau ada orang bilang atas nama cinta, lantas menghalalkan yang namanya pacaran, dengan ungkapan, ‘buktikan kalau kamu benar-benar cinta! Mari kita berpacaran untuk menemukan kecocokan di antara kita’, jangan pernah diturutin, karena dalam kondisi demikian cinta tidak lagi murni, hawa nafsulah yang menjadi lakon utama yang menyetir arahnya. Dengan bahasa lain – kalau memang buah atau cinta itu harus dipetik laksana buah, katakanlah: Izinkan aku memetikmu ketika sudah masak. Aku tidak akan memetik lalu mempercepat kematanganmu secara instan, karena ku yakin akan tiba saatnya dimana Tuhan akan mematangkan dirimu, aku ingin memetikmu ketika kamu benar-benar masak. Ketika momentum ‘masak/matang’ itu tiba maka kenikmatan yang selama ini diidamkan akan benar-benar nikmat. Akan timbul harmoni, romansa indah ketika betul-betul dipetik pada saatnya. Itulah sebabnya kita menemukan titik temu, mengapa Islam melarang menjual belikan buah sebelum waktu layak panen, ini karena di samping faktor ketidaknikmatan, juga ada yang namanya faktor lain yang tidak kalah pentingnya yaitu ada unsur memaksakan sesuat yang belum seharunya dipetik. Ini sebagai gambaran penting mengenai ketidaksabaran seseorang untuk menunggu proses, dan menginginkan sesuatu secara instan.
Berikut ini ada cerita faktual menarik yang sangat bertalian erat dengan: indahnya menikmati sesuatu pada waktunya. Pada hakikatnya cerita ini merupakan inspirasi dari kisah nyata, meskipun nanta diceritakan dengan nama samaran, tentu saja untuk menjaga aib sekaligus juga berusah mengambil pelajaran darinya:

      [Johan atau yang dipanggil dengan, ‘Jo’, adalah pemuda yang ganteng dan hidup berkecukupan. Ia lahir dari keluarga taat beragama. Sejak kecil dia rajin mengaji dan aktif dalam kegiatan-kegiatan ormas keagamaan. Di daerahnya, ia merupakan pemuda yang organisatoris dan supel. Dari kecil –karena lahir dari keluarga yang taat beragama- ia sangat menjaga yang namanya hubungan lawan jenis. Rutinitasnya sehari-hari berjalan seperti biasa, sampai pada akhirnya ketika dia sekolah di SMA, Ia menglami guncangan serius dalam keluarganya. Ayahnya, yang sejak kecil dia hormati dan dia sayangi sedemekian rupa, ternyata berbuat khilaf berupa serong dengan wanita lain. Kkehidupan rumah tangga yang sebelumnya aden dan tentrem diliputi dengan pertengkaran demi pertengkaran yang tentu saja mengusik hati Johan sebagai laki-laki yang sedeng bertumbuh dewasa. Peristiwa itu ternyata berdampak serius pada Johan. Johan yang sebelumnya merupakan anak muda yang taat beragama dan sangat menjaga hubungan lawan jenis, akhirnya mencari pelampiasan lain untuk mengobati kegalauan hatinya. Dia mulai mencoba-coba yang namanya pacaran, hidup bebas bersama lawan jenis. Ia sering berganti-ganti pacar sampa lebih dari sepuluh kali. Lama-kelamaan, karena dosa demi dosa sudah menutup hatinya, akhirnya dia tidak merasa risih dan salah ketika berpacaran. Padahal ketika dia melanjutkan studinya, bapak dan ibunya sudah relatif baikan dan tidak ada masalah berarti.

        Pacaran demi pacaran yang dia alami dan lakoni, pada akhirnya mengarahkan dirinya kepada rasa penasaran ingin mencoba yang kenikmatan bersetubuh dengan pacarnya. Pacarnya yang terakhir bernama Salma(nama samaran). Pada saat di mana hasrat birahi behitu menguasai hati, akhirnya pada waktu liburan kuliah, ia nekat mengajak Salma pergi ke puncak. Tentu saja bisa ditebak, apa yang akan dilakukan oleh dua insan muda-mudi yang sedang dilanda kasmaran di puncak. Di sana tidak ada batas, tidak ada yang mengawasi, saat itulah setan membisikinya dengan sengat halusnya: “Ayo cepat lakukan saja, mumpung ada kesempatan, lagian Salma kan pacarmu, kalaupun nanti hamil, kamu akan bertanggung jawab sebagai ayahnya”. Akhirnya pertahanan keimanannyapun jebol, hasrat dan nafsunya membimbingnya ke arah maksiat. Sampai akhirnya keduanya tidak merasa risih, sedih setiap kali melakukan hubungan lawan jenis. Hal itu dilakukan berkali-kali, meski pada akhirnya juga terbit dari hatinya rasa penyesalan yang begitu mendalam. Hari-harinya dihabiskan dengan berfoya-foya dan melakukan kemaksiatan, tentu saja tanpa sepengetahuan ayahnya.

         Hari demi hari ternyata tidak ada perkembangan yang berarti. Sampai akhirnya Jo, kenal dengan seorang ‘teman jalanan unik’ bernama Harianto. Harianto adalah tipikal pemuda yang mandiri, ulet, giat, berkemauan keras, dan sangat taat beragama. Pertemuanya dengan harianto juga tidak disengaja. Pertemuan terjadi ketika Harianto sedang menjalankan kerja serabutannya menjadi Tukang Parkir. Ketika Jo, ingin memarkirkan mobilnya di rumah makan bersama Salma, dengan sangat terampil, cekatan dan sopan Harianto mempersilahkan Jo memarkir mobilnya. Setelah selesai makan-makan, Jo keluar lalu menyetir mobilnya keluar dibantu oleh Harianto dari belakang. Sesudah itu, karena Jo tidak punya uang receh seribuan, akhirnya dia memberinya uang sepuluh ribu, sambil berkata: “udah mas ini sepuluh ribu, ambil saja kembaliannya, saya tidak punya uang receh soalnya”. Dengan senyuman khasnya, Harianto menjawab: “Ooo...ya sudah mas, kalau memang tidak punya uang receh ya ndak usah bayar, biar Allah sendiri nanti yang membayar saya dengan cara-Nya”. Jawaban Harianto begitu menyentak alam bawah sadar Jo, selama ini orang yang dia beri uang lantaran ga ada uang receh, dengan senang hati akan menerima, bahkan tak jarang juga yang malah menipu dia dengan alasan yang bermacam-macam. Kesan pertama Jo pada Harianto ialah: Unik, Sopan sekaligus menukik kesadaran.

         Singkat cerita, bulan demi bulan dia berusaha mencari siapa sebenarnya Harianto. Akhirnya ketemu juga dan pertemuan itu membuat Jo semakin kagum dengan kepribadian Harianto. Melihat Harianto, membuatnya teringat ketika Ia masih aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, dan tentu saja sangat menjaga hubungan lawan jenis. Sangat lain dengan dirinya sekarang. Meskipun orang tuanya tidak mengerti kelakuan Jo yang sekarang, tapi Ia sadar bahwa Ia tidak bisa berbohong pada  dirinya sendiri, apalagi sama Allah. Singkatnya, pertemuan dengan Harianto membuat Jo lambat laun berubah drastis, dan mengembalikan hidupnya pada saat masa-masa ketaatannya. Namun Jo selalu merasa bersalah dan menyesal, terlebih ketika ada yang bilang kalau dosa zina itu berat, zina adalah dosa besar. Ia secara pribadi sebenarnya ingin bertaubat dan berubah, tapi di saat yang sama, dirinya dan Salama diliputi penyesalan yang begitu mendalam. Sebagai sahabat, Harianto menyarankan: Apa yang terjadi biarlah terjadi. Yang penting kamu sekarang sudah mau taubat secara sungguh-sungguh insyaAllah Allah akan menerima taubatmu. Segera lamar dia lalu nikah! Jangan mengulur waktu lagi, supaya kamu tidak semakain jauh dari batas-batas Allah.

          Jo dan Salma pun akhirnya menikah seperti nasehat dari Harianto. Yang menarik dijadikan catatan di sini ialah pada saat malam pertama. Kalau pada umumnya, orang yang sedang malam pertama itu diliputi oleh rasa kegembiraan dan penasaran, lain lagi dengan Jo dan Salma. Jo dan Salma hanya bengong dan diam. Tidak tahu mau melakukan apa. Kalau melakukan hubungan suami istri, itu sudah menjadi hal biasa karena, mereka sebelum menikah sudah sering merasakannya. Tidak ada sidikitpun dari keduanya rasa penasaran. Mereka merasakan malam pertama seperti malam biasa. Karena kenikmatan-kenikmatan yang seharusnya hanya boleh dinikmati ketika malam pertama, sudah diambil sejak dini. Jo dan Salma akhirnya merayakan malam pertama dengan isak tangis penyesalan yang mendalam. Ia baru mengerti, kenapa sejak dahulu Kiainya selalu menyarankan untuk menjaga hubungan lawan jenis, dan jangan sampai pacaran. Ibaratnya ia sudah keburu memetik buah sebelum panen, akibatnya rasa sesallah yang dia rasakan sekarang. Demikian juga Salma, mengingat kejadian-kejadian yang telah lalu, membuatnya semakin menangis menjadi-jadi. Malam pertama mereka tak melakukan apa-apa kecuali penyesalan yang begitu mendalam dan berteubat.  Keduanya meratap dan mengadu pada Allah pada sepertiga malam, untuk meminta ampun dan berdoa kepada-Nya: Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, kami telah melakukan dosa besar, jadikanlah kami insaf, dan peliharalah anak cucu kami agar terhindar dari perbuatan keji yang kami lakukan.]

            Cerita di atas sebenarnya sangat bertalian erat dengan budaya ‘cinta instan’ para remaja yang dilakukan melalui sarana pacaran. Kalian yang pacaran memang sekarang terasa nikmat, enjoy, dan dunia serasa milik berdua. Tapi lihat nanti ketika takdir cinta mengantarkan anda sampai ke pelaminan, kenikmatan-kenikmatan ketika menjadi suami istri akan terasa hambar dan biasa, karena sudah diborong ketika belum menjadi suami istri. Inilah rahasia mengapa Islam sangat ketat dalam hal hubungan lawan jenis. Pandangan saja suruh dijaga apalagi sampai pacaran, tambah lebih parah. Ketaatan pada perintah Allah pasti akan membuahkan kenikmatan, sedangkan kemaksiatan hanya akan menimbulkan dampak penyesalan dan kesengsaraan di kemudian hari. Masalahnya sekarang ialah bagi anda yang sedang menjalin hubungan, maka apakah hati anda tidak terketuk dengan kisah di atas? Adapun yang masih belum pernah pacaran atau yang ada niatan pacaran, segera dipikir ulang sebelum kalian menyesal. Mulai sekarang katakan dengan berani dan jujur pada hati dan sanubarimu: “Cinta, Izinkan Aku Memetikmu Ketika Tiba Saatnya”.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan