Home » » Macan Mengaum, Semutpun Menggigit

Macan Mengaum, Semutpun Menggigit

Written By Amoe Hirata on Selasa, 29 April 2014 | 07.27

       2 November 2012 pukul 16:02
           “Kalian ini benar-benar keterlaluan, makan sudah dikasih, biaya hidup ditanggung, disuruh tidak mau. Lebih baik kalian nyengkre (minggat) saja daripada membuat aku semakin jengkel”. Pak Tejo naik pitam karena Suyatmi, Sunarti dan Sulastri selaku anak angkatnya tidak mau ketika disuruh menanam batang pohon ubi di kebun. Suyatmi, Sunarti dan Sulastripun sebagai anak remaja yang punya gengsi besar dan harga diri merasa tak tahan disentak sedemikian rupa, mengingat bapak dan ibunya selama ini tidak pernah memarahinya dengan kata-kata pedas seperti itu. Ke tiga anak itupun berceloteh, “ Kita dimarahin, direndahkan, disuruh apapun sebenarnya mau, tapi wong  memang kenyataannya kita ga bisa nanam ubi kok disuruh, ya sudah kalau memang diusir ya minggat saja, biar saja peternakan ayam terbengkalai, biar diurusin sama petugas bayaran Pak Tejo”.
            Mungkin bila anda membaca cerita di atas secara sederhana tanpa mengklarifikasi terlebih dahulu dengan segera akan membuat kesimpulan bahwa ketiga anak-anak itu memang ga tau diri, sudah tahu numpang di rumah orang, disuruh saja tidak mau. Mungkin juga sebaliknya anda akan membuat kesimpulan: Pak Tejo itu waras apa tidak sih sebenarnya, yang namanya nyuruh ya harus tahu dulu bisa ga yang disuruh, lah nanti kalau yang disuruh salah apa ga malah jadi molo(masalah), kan kalau seumpama salah nancapkan batang pohon ubi nanti secara kualitas rasa dan kuantitas buahnya akan bermasalah, ah mungkin Pak Tejo ga pernah belajar menejemen pertanian kali ya”.
            Apapun kesimpulan yang anda buat; apa saja konklusi yang anda tetapkan itu hak prerogatif anda sebagai pengamat cerita. Namun alangkah baiknya ketika semangat membaca dan mengamati cerita diiringi dengan kemampuan untuk senantiasatabayyun(klarifikasi) berita sebagaimana nilai yang diajarkan Allah swt dalam surat Al-Hujurat. Terlebih jika anda bisa memberi pencerahan, solusi terhadap konflik-konflik yang terjadi dalam cerita, syukur-syukur dapat mengambil hikmah darinya.
            Pak Tejo selaku Pengasuh dan Pembina Suyatmi, Sunarti dan sulastri memang punya hak penuh untuk menyuruh, memerintah, memberi komando pada ketiga anak angkatnya itu. Tapi Pak Tejo harus bijaksana dalam memberikan perintah. Bijaksana di sini meliputi ketepatan perintah, keakuratan potensi yang diperintah, penggunaan bahasa perintah yang sedemikian ramah sehingga memunculkan timbal balik yang harmonis dari pihak yang diperintah. Perintah yang tepat harus ditujukan pada orang yang tepat. Kalau yang diperintah tidak menguasai, tidak berkompetensi terhadap perintah, berarti yang memerintah adalah orang yang otoriter, sak karepe dewe. Memberi perintahpun, kalau dengan bahasa kecaman dan amarah malah akan menimbulkan output yang kontra produktif terhadap hasil perintah dan pihak yang memerintah. Hal ini malah melahirkan, kemuakan, amarah, dendam dari diri yang diperintah. Yang tidak kalah penting juga, kalau gaya memerintahnya dengan bahasa sangar seperti kusir penjara memerintah para Napi, maka yang timbul bukan hasil yang baik malah akan timbul gelot, percekcokan secara langsung (kalau sama-sama berani) atau secara tidak langsung berupa dendam (  kalau yang diperintah tidak memiliki kuasa dan keberanian yang mandiri). Belum lagi kita krosceklebih jauh apakah Pak Tejo memerintahkan dengan direct statement atau indirect statement. Kemudian apakah Pak Tejo nyuruh langsung anaknya apa lewat orang lain. Kalau lewat orang lain apa tidak dicek terlebih dahulu sebarapa besar kadar penyimpangan informasi yang terjadi. Supaya nanti tidak terjadi kesalah pahaman dalam menentukan sikap dan kebijakan.
            Bagi trio Su( Suyatmi, Sunarti dan Sulastri) memang sangat mempunyai hak untuk diperintah dengan perintah yang tepat, yang ramah, yang bijak sehingga akan melahirkan keharmonisan hubungan antara Pak Tejo dan mereka. Namun, perlu dipertimbangkan dan dikembangkan lebih jauh juga bahwa kemampuan untuk menanam ubi secara benar itu bukanlah hal yang sulit dan mustahil. Apakah selama ini ketika bantu Pak Tejo, tidak ikut serta membantu Tukang Tanam Ubi, sehingga turut belajar sedikit demi sedikit sehingga walaupun tidak seberapa mahir minimal ketika nanti si Tukang Tanam tidak ada maka Trio Su bisa menggantikannya. Hidup ini selalu dinamis, untuk mengimbangi kedinamisan maka kita tidak boleh bosan untuk senantiasa BELAJAR. Belajar apapun, kapanpun dan dimanapun selama itu positif bagi kita dan orang lain. Tapi kalau Pak Tejo dan Trio Su masih ngotot dengan gengsi dan pendapatnya maka nasehat sebijak apapun, hikmah sebagus apapun akan senantiasa mental dan tidak ada gunanya. Kalau sudah begini maka akan timbul statemen: MACAN MENGAUM, SEMUTPUN MENGGIGIT.

Sumengko, 02 November 2012
By: Amoe Hirata
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan