2 November 2012 pukul 16:02
“Kalian
ini benar-benar keterlaluan, makan sudah dikasih, biaya hidup ditanggung,
disuruh tidak mau. Lebih baik kalian nyengkre (minggat) saja
daripada membuat aku semakin jengkel”. Pak Tejo naik pitam karena
Suyatmi, Sunarti dan Sulastri selaku anak angkatnya tidak mau ketika disuruh
menanam batang pohon ubi di kebun. Suyatmi, Sunarti dan Sulastripun sebagai
anak remaja yang punya gengsi besar dan harga diri merasa tak tahan disentak sedemikian
rupa, mengingat bapak dan ibunya selama ini tidak pernah memarahinya dengan
kata-kata pedas seperti itu. Ke tiga anak itupun berceloteh, “ Kita
dimarahin, direndahkan, disuruh apapun sebenarnya mau, tapi wong memang
kenyataannya kita ga bisa nanam ubi kok disuruh, ya sudah kalau memang diusir
ya minggat saja, biar saja peternakan ayam terbengkalai, biar diurusin sama
petugas bayaran Pak Tejo”.
Mungkin bila anda membaca cerita di atas secara sederhana tanpa mengklarifikasi
terlebih dahulu dengan segera akan membuat kesimpulan bahwa ketiga anak-anak
itu memang ga tau diri, sudah tahu numpang di rumah orang, disuruh saja tidak
mau. Mungkin juga sebaliknya anda akan membuat kesimpulan: Pak Tejo itu waras
apa tidak sih sebenarnya, yang namanya nyuruh ya harus tahu dulu bisa ga yang
disuruh, lah nanti kalau yang disuruh salah apa ga malah jadi molo(masalah),
kan kalau seumpama salah nancapkan batang pohon ubi nanti secara kualitas rasa
dan kuantitas buahnya akan bermasalah, ah mungkin Pak Tejo ga
pernah belajar menejemen pertanian kali ya”.
Apapun kesimpulan yang anda buat; apa saja konklusi yang anda tetapkan itu hak
prerogatif anda sebagai pengamat cerita. Namun alangkah baiknya ketika semangat
membaca dan mengamati cerita diiringi dengan kemampuan untuk senantiasatabayyun(klarifikasi)
berita sebagaimana nilai yang diajarkan Allah swt dalam surat Al-Hujurat.
Terlebih jika anda bisa memberi pencerahan, solusi terhadap konflik-konflik
yang terjadi dalam cerita, syukur-syukur dapat mengambil hikmah darinya.
Pak Tejo selaku Pengasuh dan Pembina Suyatmi, Sunarti dan sulastri memang punya
hak penuh untuk menyuruh, memerintah, memberi komando pada ketiga anak
angkatnya itu. Tapi Pak Tejo harus bijaksana dalam memberikan perintah.
Bijaksana di sini meliputi ketepatan perintah, keakuratan potensi yang
diperintah, penggunaan bahasa perintah yang sedemikian ramah sehingga
memunculkan timbal balik yang harmonis dari pihak yang diperintah. Perintah
yang tepat harus ditujukan pada orang yang tepat. Kalau yang diperintah tidak
menguasai, tidak berkompetensi terhadap perintah, berarti yang memerintah
adalah orang yang otoriter, sak karepe dewe. Memberi perintahpun,
kalau dengan bahasa kecaman dan amarah malah akan menimbulkan output yang
kontra produktif terhadap hasil perintah dan pihak yang memerintah. Hal ini
malah melahirkan, kemuakan, amarah, dendam dari diri yang diperintah. Yang
tidak kalah penting juga, kalau gaya memerintahnya dengan bahasa sangar seperti
kusir penjara memerintah para Napi, maka yang timbul bukan hasil yang baik
malah akan timbul gelot, percekcokan secara langsung (kalau
sama-sama berani) atau secara tidak langsung berupa dendam ( kalau yang
diperintah tidak memiliki kuasa dan keberanian yang mandiri). Belum lagi kita krosceklebih
jauh apakah Pak Tejo memerintahkan dengan direct statement atau indirect
statement. Kemudian apakah Pak Tejo nyuruh langsung
anaknya apa lewat orang lain. Kalau lewat orang lain apa tidak dicek terlebih
dahulu sebarapa besar kadar penyimpangan informasi yang terjadi. Supaya nanti
tidak terjadi kesalah pahaman dalam menentukan sikap dan kebijakan.
Bagi trio Su( Suyatmi, Sunarti dan Sulastri) memang sangat mempunyai hak untuk
diperintah dengan perintah yang tepat, yang ramah, yang bijak sehingga akan
melahirkan keharmonisan hubungan antara Pak Tejo dan mereka. Namun, perlu
dipertimbangkan dan dikembangkan lebih jauh juga bahwa kemampuan untuk menanam
ubi secara benar itu bukanlah hal yang sulit dan mustahil. Apakah selama ini
ketika bantu Pak Tejo, tidak ikut serta membantu Tukang Tanam Ubi, sehingga
turut belajar sedikit demi sedikit sehingga walaupun tidak seberapa mahir
minimal ketika nanti si Tukang Tanam tidak ada maka Trio Su bisa menggantikannya. Hidup
ini selalu dinamis, untuk mengimbangi kedinamisan maka kita tidak boleh bosan
untuk senantiasa BELAJAR. Belajar apapun, kapanpun dan dimanapun selama itu
positif bagi kita dan orang lain. Tapi kalau Pak Tejo dan Trio Su
masih ngotot dengan gengsi dan pendapatnya maka nasehat
sebijak apapun, hikmah sebagus apapun akan senantiasa mental dan tidak ada
gunanya. Kalau sudah begini maka akan timbul statemen: MACAN
MENGAUM, SEMUTPUN MENGGIGIT.
Sumengko, 02 November 2012
By: Amoe Hirata
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !