Kejujuran
bagaikan mutiara sangat indah yang mampu menarik pesona setiap manusia. Kalau
ada yang lebih indah dari mutiara, maka kejujuran adalah perhiasan terindah
dari segala keindahan. Ia memang susah dicari dan sukar didapatkan karena
berharga. Untuk mendapatkannya perlu perjuangan dan pengorbanan. Karena
sedemikian susah dan sukarnya, banyak sekali yang gagal menghadapi ujian
kejujuran. Tapi lihat efek yang ditimbulkan dari kejujuran! Para Nabi dipilih
karena kejujuran. Abu Bakar menjadi sahabat yang tercinta di mata Nabi di
antaranya karena kejujuran dan terdepan dalam membenarkan setiap apa saja yang
dikatakan Nabi. Para sahabat Nabi itu mulia karena mereka kejujuran. Dengan
demikian kejujuran merupakan salah satu kata kunci untuk menilai berharga
tidaknya seseorang. Semakin jujur seseorang maka semakin besar pula peluangnya
untuk menjadi orang mulia dan berkualitas tinggi. Di samping itu kejujuran
memang tak semudah yang dikatakan, meski tak mustahil dilakukan. Hanya
orang-orang yang memiliki komitmen dan tekad baja yang mampu survive
mendapat dan mempertahankan kejujuran. Nabi menegaskan bahwa kejujuran dapat
memudahkan jalan seseorang menuju titian kebaikan hingga surga. Surga hanya
bisa didapatkan bagi mereka yang mendapatkan tropi kejujuran dari Allah subhanahu
wata`ala.
Kejujuran
tidak akan mendapatkan tempat pada hati orang yang tak menghargai keindahan
nilai. Kejujuran tidak akan mampu ditampung oleh manusia yang membebaskan diri
dari nilai-nilai luhur. Memang untuk mempertahankan dan meneguhkan diri agar
senantiasa konsisten memegang eratnya penuh dengan dilema, penuh dengan onggak
duri dan rintangan. Kejujuran memang penuh risiko. Namun bak mutiara, apakah
mutiara itu mampu didapat tanpa menyusuri ke dalam samudera? Begitulah
kejujuran bernilai. Yang mampu menyangganya adalah mereka yang mempunyai
kualitas kepahlawanan. Kita tentu mendengar, melihat, membaca tentang sejarah
para pahlawan. Mereka dikenang di antaranya karena kejujuran dalam
memperjuangkan cita-cita yang luhur. Mungkin mereka tak sempat menikmati hasil
dari jerih payah perjuangan mereka. Namun kejujuran akan senantiasa menemani
mereka di pembaringan terakhirnya hingga membuatnya selalu terkenang di hati.
Meski telah mati, mereka terasa abadi karena kejujuran yang dimiliki; meski
telah tiada mereka terasa ada karena kejujuran yang dipunya. Kejujuran seolah
menjadi selempang pahlawan. Mereka berselempang kejujuran.
Untuk
mendapatkan kejujuran individu, di jaman modern saat ini mungkin masih ada
meski susah. Sekarang orang jujur dianggap nyeleneh, asing dan tak wajar. Orang
jujur diejek sedemikian rupa karena sama sekali bertentangan dengan berbagai
kepentingan duniawi. Orang jujur dianggap merusak tatanan sosial. Kejujuran
secara umum dianggap penghalang kesuksesan dan kemakmuran pribadi. Namun
menemukan kejujuran kolektif di jaman sekarang ini bahkan sangat-sangat susah –
kalau bukan malah mustahil-. Tapi ini sama sekali tidak susah kalau kita mau
membaca lembaran sejarah emas sahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi
wasallam. Beliau diutus di Jazirah Arab yang sangat mengindahkan kejujuran,
oleh Dzat yang mengindahkan kejujuran, melaui Jibril Makhluk yang patuh dan
penuh kejujuran. Sahabat yang mengitarinya digembleng dan dilatih sedemikian
rupa agar senantiasa jujur dalam segala hal. Tentu saja ada juga
pengecualian-pengecualian seperti misalnya dalam konteks peperangan. Namun
secara umum kejujuran benar-benar dikonsistenni secara sungguh-sungguh. Mereka
sangat meneladani kejujuran Rasulullah, karena itu mereka menapaktilasi jejak
kejujuran beliau. Karena itulah, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sari
pati kekonsistenan dan ketaatan mereka para sahabat terletak pada kejujuran
yang mereka miliki. Mereka layak disebut pahlawan keujuran. Jujur dalam merasa,
jujur dalam bersikap, jujur dalam bertindak. Kejujuran seolah bagai selimut
yang menyelimuti hati dan amal mereka.
Anda pernah
mendengar sahabat yang bernama Ka`ab bin Malik? Ia merupakan sahabat yang lulus
dari ujian kejujuran ini. Kepahlawanannya bertolak dari peristiwa kejujuran
yang ia pegang teguhi. Ketika perang Tabuk terjadi, dia absain tidak ikut
padahal ia mampu, akibat bujukan nafsu hingga menunda-nunda waktu, perbuatan
ini harus dibayar mahal berupa sanksi yang sangat-sangat berat. Karena
perbuatannya ini, dia diisolasi bicara selama 50 malam, bahkan isteri
tercintanya yang halal baginya diperintah meninggalkannya ketika malam ke empat
puluh. Menariknya dia tetap bisa teguh tegar memegang erat kejujuran. Ia
menyadari betul sebenarnya ia mampu bersilat lidah, karena dia penyair Islam
yang kondang. Tapi hati kecilnya menolak kebohongan itu. Kebohongan apapun akan
nampak di mata Allah ta`ala. Kalau ia ngotot berbohong pasti akan turun
wahyu yang akan membeberkan kedoknya. Di sela-sela menjalani sanksinya, sebenarnya
bukan hanya ia merasa sesak dadanya di tengah kelapangan bumi, namun ia juga
mendapat godaan lain berupa bujukan dan rayuan dari utusan penguasa Gassan
untuk bergabung dengan mereka. Ia tetap teguh tegar, bahkan menyobek-nyobek
surat ajakan mereka. Pada akhirnya Ka`ab bin Malik lulus dalam ujian kejujuran
ini. Rasulullah sampai mengatakan: Selamat atas kebaikan di hari yang telah
kamu lalu sejak engkau dilahirkan ibumu. Ka`ab gembira bukan main. Sejak
saat itu pula ia berkomitmen pada Rasul: saya akan senantiasa memegang
prinsip kejujuran selama nyawa ini masih bersemayam dalam raga. Ia pun
benar-benar membuktikannya hingga akhir hayatnya. Berangkat dari kejujuran
hingga mati dalam kejujuran. Inilah kunci dari kepahlawanan Ka`ab bin Malik. Ia
mampu mengolah dan memenej hatinya untuk senantiasa jujur dalam berbuat dan
bertutur. Cermin hatinya selalu memantulkan kejujuran. Kejujuran mengantarkan
takdir kepahlawanannya menuju ridha Dzat Yang Menyukai Kejujuran hamba.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !