Allah
Maha indah dan menyukai keindahan. Di antara anugerah yang diberikan oleh-Nya
kepada manusia ialah keindahan suara. Dalam memanfaatkan keindahan yang
dianugerahkan Allah ini, sikap dan perilaku orang bermacam-macam. Kebanyakan
yang memiliki suara indah, menumpahkan segenap potensinya dalam dunia musik.
Apalagi di zaman ini peluang untuk ke situ begitu besar karena difasilitasi.
Ada yang namanya Indonesian Idol dan lain sebagainya. Masalahnya
kemudian ialah mensyukuri keindahan suara apa sekadar mengoptimalisasikannya
hanya dalam dunia musik atau tarik suara? Bukankah itu sangat wadag sekali?
Bukankah segenap anugerah yang diberikan Allah itu harus disyukuri. Sedang rasa
syukur hakiki ialah yang mampu membuat manusia sadar bahwa semua itu dari Allah
dan ia hanya dipinjami. Sehingga dengan kesadaran demikian dia tidak memiliki
peluang untuk menyombingkan diri. Islam sangat mengapresiasi dunia seni, namun
kesenian yang hanya berkutat pada seni belaka, yang tidak mengantarkan
kesadaran bahwa Allahlah Maha Indah dan menyukai keindahan maka kesenian itu
sangat materialistik sifatnya. Bila kesenian diwujudkan dengan kesadaran cinta
keindahan karena Allah maka kesenian itu bernilai ibadah. Demikian kesenian di
bidang keindahan suara. Siapa saja yang diberi anugerah keindahan suara,
kemudian ia salurkan potensinya hanya untuk mencari popularitas dan kemasyhuran
maka anugerah itu menjadi anugerah yang ganjil. Ganjil karena dia tak mampu
menyadari bahwa sebenarnya keindahan itu berasal dari Allah, kalau ia malah
lupa pada Allah lantaran nikmat suara indah itu, berarti ia tidak mampu menjadi
orang yang genap dalam artian lulus dalam menjalani ujian kenikmatan.
Pernahkah
anda mendengar sahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam yang
keindahan suaranya diibaratkan seperti seruling Nabi Daud? Sahabat itu bernama
Abdullah bin Qais yang diberi kunya Abu Musa Al-`Asy`ari. Suatu malam
ketika Nabi berjalan Beliau mendengar dari satu rumah suarah yang sedemikian
indah melantunkan ayat suci Al-Qur`an, keesokan harinya belia menyatakan pada
Abu Musa Al-Asy`ari: “Sungguh engkau telah dianugerahi seruling (Nabi) Daud”.
Abu Musa ketika mendengar pernyataan Rasul menimpalinya dengan kata: Seandainya
aku tahu bahwa tadi malam engkau mendengarkanku melantunkan ayat suci Al-Qur`an
maka akan lebih aku perindah. Kata “seruling” dalam hadits tersebut memiliki
makna keindahan suara. Dalam tradisi bahasa Arab, orang yang memiliki suara
indah diibaratkan seperti seruling. Nabi Daud dikenal dengan kemerduan
suaranya. Jadi maksud hadits itu ialah bahwa Abu Musa diberi karunia keindahan
suara layaknya Nabi Daud `alaihis salami. Yang menjadi pertanyaan
selanjutnya ialah? Apakah Abu Musa berhenti pada sekadar keindahan suara? Apakah
seluruh hidupnya difokuskan dalam dunia itu? Apakah keindahan suara membuatnya
angkuh dan sombong? Apakah keindahan suara membuatnya terlena dan lupa Allah?
Apakah keindahan suaranya dia gunakan hanya untuk mencari popularitas?
Kalau kita baca sejarah emas sahabat
Nabi kita akan menemukan kenyataan yang sama sekali menyimpang dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ya memang Abu Musa memiliki keindahan suara,
tapi ia tidak berhenti sampai di situ. Ia bukan sekadar menghiasi Al-Qur`an
dengan suaranya yang merdu tapi ia juga menganjurkan untuk mengikuti isi
Al-Qur`an. Karena apa gunanya keindahan
bacaan Al-Qur`an jika yang membaca tidak mengikuti keindahan isinya. Bahkan
yang menjadi lebih menarik ialah fokus hidupnya bukan pada keindahan suara. Ia
tidak larut dan terlena pada kelebihan yang dianugerahkan Allah berupa suara
merdu, justru ia fokus berjihad, berjuang di jalan Allah yang penuh onak dan
duri. Ia tidak sombong dan tidak mencari popularitas melalui itu. Ia memiliki
hati yang lembut sekaligus merupakan sayyidu al-fawaarits(Penghulu
Kavaleri[pasukan berkuda]). Ia bukan saja memiliki suara merdu tapi dia adalah
pejuang yang pemberani, terdepan di medan jihad, dan dia juga seorang Gubernur
dan Qadli baik di masa Umar maupun Utsman. Ia lulus menjalani “ujian
kenikmatan”. Mungkin banyak yang bisa lolos dari “ujian kesulitan” karena
sangat terasa. Tapi sangat jarang sekali yang mampu lulus dan lolos dari “ujian
kenikmatan”. Ia mampu mentransformasikan keindahan suara menjadi amalan-amalan
nyata untuk mencari ridha Allah. Keindahan anugerah harus disyukuri dengan
keindahan laku. Bila keindahan yang dikaruniakan Allah tak mampu menembus
cermin hati sehingga memantulkan keindahan amal maka kualitas cermin hatinya
sangatlah buruk.
Bagi
siapa saja yang merasa muslim dan diberi anugerah keindahan suara, mesti
banyak-banyak belajar kepada Abu Musa Al-`Asyari. Suara yang begitu merdunya
diiringi dengan amalan yang indah; suara yang begitu indah dibarengi dengan
keindahan laku. Ia tak mau larut dan terlena dengan hanya sekedar anugerah
keindahan, dia segera mensyukurinya dengan amalan-amalan nyata. Ia pemilik
suara merdu sekaligus pejuang sejati; ia pemilik suara indah sekaligus petarung
sejati di medan jihad. Ia mampu lulus dan lolos dari penilaian wadag materil.
Ia tidak terbelenggu dan ditimpa penyakit ghurur(terlena) terhadap
anugerah kemerduan suara. Ia mampu memanfaatkan kemerduan suara untuk
kepentingan ibadah dan dakwah. Banyak sekali hati-hati manusia terbuka setelah
mendengar suaranya. Terbuka untuk mengikuti petunjuk Allah semata. Pada zama
Khalifah Umar bin Khathab, setiap kali beliau bertemu Abu Musa Al-`Asy`ari
beliau mengatakan: Wahai Abu Musa, Buatlah kami rindu pada Al-Quran (dengan
kemerduan suaramu). Pantaslah jika Rasul mengatakan bahwa dia diberi
anugerah layaknya seruling Daud. Nabi Daud pemilik suara indah sekaligus
menjadi raja; pemilik suara merdu sekaligus pejuang dan pendakwah dijalan
Allah; pemilik suara indah dan merdu sekaligus pensyukur sejati. Tak ada jarak
antara anugerah dan laku.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !