Kelam
mendung sore akhirnya menurun hujan deras, persis seperti kondisi yang aku
alami saat ini. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya menetes juga. Figur
teladan yang selama ini menjadi pembimbing dan pendidikku akhirnya kembali ke
haribaan Tuhannya. Sosok panutan yang selama ini tak bosannya meluapkan kasih
dan sayang akhirnya tiada. “Maafkan aku pak, dulu sewaktu engkau waktu masih
berada bersamaku, kau selalu menasehatiku agar jangan menangis sewaktu engkau
meninggal, tapi aku tak kuasa menahan, semakin kutahan semakin deras arus air
mata menerobos bendungan mataku”.
Ibu
tak berkata sepatah katapun. Dia hanya duduk termangu seorang diri. Rasanya
baru kemaren kita bercengkerama bersama bapak sambil bercanda ria, namun sekarang
semuanya sirna. Apa yang kubisa selain menghiburnya dengan kata “sabar, sabar
dan sabar”. Ini terasa sangat sulit. Sekolahku belum kelar, adekku juga masih
ada, ibu sekarang menjadi single parent. Ah kalau aku pikir terus,
lama-lama aku bisa stres juga. Bapak pernah memberiku nasihat: “Ndok, menjadi
manusia berarti siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Tidak ada
manusia yang berkelakuan istiqomah selamanya atau konsisten selamanya. Apalagi
ketika ia dibenturkan dengan berbagai masalah yang menimpanya, belum tentu ia
sanggup menghadapinya. Kunci hidup itu ya iman. Kalau kamu hidup tanpa iman,
kamu hanya akan mencari kebahagian semu dan kesenangan yang menipu. Dengan iman
semua rintangan dan cobaan dan ujian bisa diracik menjadi bumbu kebahagiaan
hidup. Tinggal kitanya saja mau apa tidak untuk selalu memaknai dan belajar
dari kehidupan kita. Orang mukmin itu hidupnya selalu terkontrol. Kalau
mendapat kesenangan dia bersukur dan ketika mengalami kesengsaraan dia bersabar”.
Belum
lagi aku tersadar dari lamunanku, adikku yang masih kecil mengajak main aku.
Dia terlihat senang dan bahagia. Aku sampai iri juga melihatnya aku juga turut
terhibur dengan kebahagiaannya. Yang ada dipikirannya mungkin hanya kebahagiaan
dan kesenangan. Padahal yang saat ini, dia telah kehilangan kepala keluarga.
Aku sangat sayang sama dia dan juga sangat kasihan, pasalnya tulang punggung
keluarga telah tiada dan otomatis ada yang berkurang dari keharmonisan keluarga
yang selama ini terjalin.
Hari
berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun berganti
tahun rupanya ketakutan yang selama ini aku pendam dalam hatiku tak seburuk
yang terjadi. Kekhawatiran yang selama ini kurasa ternyata tidak terjadi. Ibuku
terlihat makin tegar dan kuat. Kesedihan memang wajar menimpa setiap orang.
Tapi kesedihan bukanlah segalanya karena ada yang lebih penting dari hanya
kesedihan, yaitu bangkit dan mengambil pelajaran untuk menuju kehidupan lebih
baik. Kesedihan dan kesusahan merupakan bumbu wajib untuk menguji manusia
apakah dia tetap tabah dan tegar atau semakin kalah dan menyerah.
Al-hamdulillah dengan komitmen keimanan yang kami miliki semua bisa terlewati
dengan mudah. Tapi ada keganjilan selama ini hidup tanpa bapak, namun sisi
positifnya berimbang. Ada banyak pelajaran yang aku dapatkan, dari soal
kemandirian, kedewasaan hingga keuletan dalam menjalani hidup.
Setiap
kali aku ingat bapak entah mengapa aku selalu menangis. Mungkin terlalu banyak
kenangan indah yang tersimpan bersamanya. Dalam hati aku pernah punya keinginan
dan harapan bahwa nanti aku ingin mendapat jodoh yang mirip dengan bapakku.
Sesosok figur yang bertanggung jawab, peduli sosial, taat beragama dan
mempunyai pendirian teguh. Ada yang belum aku tanyakan sama al-marhum bapak
mengenai arti dari namaku, Salsabila. Namun pertanyaanku itu tak berani
kutanyakan hingga beliau meninggal. Kupikir aku tidak mau mengganggu kegiatan
beliau dengan hanya menanyakan arti dari sebuah nama.
Tanpa
dinyana, kesempatan untuk mengetahui tentang arti namaku tanpa kuniatkan
sebelumnya ternyata tiba. Ada guru baru disekolahku yang kebetulan mengajar
tentang tafsir al-Qur`an kebetulan yang dibahas ialah surat al-Insan ayat lima
sampai dua tiga. Aku hanyut dalam penjelasannya yang demikian dalam dan luas.
Dari penjelasannya aku baru sadar betapa arti “salsabila” itu sangat bagus
yaitu, “mata air disurga”. Yang akan mendapat mata air itu ialah orang yang
mempunyai ciri-ciri berikut: 1. Berbuat kebajikan 2. Menunaikan nadzar 3. Takut
akan adzab-Nya 4. Memberi makanan yang disukai kepada orang miskin, anak yatim
dan orang yang ditawan 5. Sabar. Orang yang memiliki ciri demikian akan
terselamatkan dari siksaan yang sedemikian dahsyat dan hatinya akan dipenuhi
kegembiraan dan wajahnya berseri-seri.
Wah betapa ciri-ciri diatas amat mengingatkanku pada sosok bapakku. Aku
jadi menyesal kenapa tidak dari dulu menanyakan arti namaku kepada beliau.
Beliau tidak sekedar memberi nama. Ternyata ciri-ciri tadi begitu beliau jaga
dan diupayakan agar bisa selalu dilakukan. Aku semakin merasa betapa cinta
beliau kepadaku dan keluarga tak terbatas ruang dan waktu. Kalaupun dia
meninggalkan kami dia bahagia kalau kami selalu berupaya agar menapaki
jalan-jalan terjal yang membuahkan SALSABILA. Yaitu jalan licin dan curam yang
berisi godaan hidup dan tipu daya dunia, yang perlu dilewati dengan bekal iman
dan takwa. Yaitu jalan yang penuh ujian dan rintangan yang bisa mengantarkan
kita pada SALSABILA.
Wajah
teduh penuh santun itu tanpa sadar merasuk kedalam lubuk hatiku. Setiap kali
aku ingat namaku, aku ingat bapak dan dia. Ya Tuhan, apa ini pertanda bahwah ada
pertautan rasa yang kau hubungkan antara aku dan dia. Aku baru saja
mengenalnya, tapi aku sangat terkesan dan ta`dzim padanya. Apakah ini yang
orang namakan cinta? Apakah ini yang orang namakan suka? Ah barangkali ini
hanya angan dan inginku yang bisa jadi merusak perjalananku menuju salsabila.
Aku mencoba mengabadikannya dalam puisi:
SALSABILA
Begitu indah menawan jiwa
Apa dia sang penuntun di
rintang derita
Ketika hati hendak berlabuh
juangkan cinta
Menuju SALSABILA
Ku tak berani meng-IYA
Tapi kuberharap bahwa itu
“DIA”
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !