Home » » Pasukan “Suka Mati”.

Pasukan “Suka Mati”.

Written By Amoe Hirata on Kamis, 24 April 2014 | 19.50

            Kalau ada sayembara kematian yang berhadiah uang sebesar triliunan rupiah, adakah kira-kira orang yang mau ikut serta?. Bisa jadi ada, bisa juga tidak. Kalaupun ada, bisakah dipastikan tiada rasa ketakutan, dan itu benar-benar ikhlas? Kalau dikasih pilihan pada umumnya meski terpaksa, orang akan memilih nyawa daripada harta. Kemudian adakah orang yang dengan suka cita rela mau mati walaupun tanpa embel-embel materi sedikitpun? Anda mungkin menjawab tidak akan ada, mana mungkin orang mau mati kalau tidak ada imbalan materi. Jangan gegabah dulu, ini memang terkesan tak mungkin ada. Tapi kalau anda mau meluangkan sedikit waktu untuk membaca sejarah emas kehidupan para sahabat, pasti akan menemukan realita demikian. Simaklah apa yang dikatakan Khalid bin Walid ketika terjadi perang Dzatus Salasil di Uballa beliau berkata pada mereka: Aku datang ke negeri kalian dengan membawa orang-orang besar yang menyukai kematian sebagaimana kalian menyukai kehidupan. Demikian juga `Umair bin al-Humaam pada perang Badar yang tak sabar ingin mati syahid walau hanya beberapa detik untuk memakan kurma. Dan masih banyak lagi contoh yang berkaitan dengan kisah tersebut. Sebagai gambaran betapa perjuangan mereka begitu ikhlas walau harus kehilangan nyawa yang berharga.
            Salamah bin al-Akwa` adalah salah satu dari sekian banyak sahabat yang rela mati demi perjuangan Islam. Ia merupakan pemanah ulung; pasukan pejalan kaki terbaik; hidupnya sepenuhnya dihibahkan untuk kepentingan Islam. Pada waktu terjadi baiat Ridhwan, beliau adalah salah satu sahabat yang berbaiat kepada Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wassallam. Tak tanggung-tanggung yang ia pertaruhkan bukan sekedar harta sang bersifat materil, ia rela menyumbangkan harta berharganya berupa nyawa untuk perjuangan Islam. Ia baiat siap mati membela Rasulullah. Baiat itu ia ulangi tiga kali, sebagai gambaran akan kesungguhan yang sudah menjadi komitmen pribadinya untuk berjuang secara maksimal memperjuangkan Islam. Ia percaya bahwa keridhaan Allah beserta surga akan diraih dengan sempurna jika dirinya tak pelit mengorbankan harta terbaik miliknya. Harta itu berupa nyawa. Walau begitu serius dan sungguh-sungguhnya ia berjuang, namun takdir berkata lain, Ia mati bukan di medan laga, sebagaimana juga Khalid bin Walid. Namun tetap saja perjuangannya akan tercatat dengan tinta emas sejarah.
            Apa berarti Salamah bin al-Akwa` merupakan orang radikal lantaran ia berani bahkan  mati? Lalu kemudian dikaitkan dengan Islam sebagai agama radikal dan suka kekerasan? Sama sekali tidak. Islam mengajarkan:  kekerasan merupakan jalan terakhir ketika tidak ada lagi cara lembut persuasif untuk mengatasinya. Adapun jika terpaksa harus mati, para pecintanya tak akan lari tunggang-langgang, tak akan berhenti berjuang hingga titik darah penghabisan. Kematian sebagai bukti paling konkrit bahwa mereka benar-benar ikhlas dalam berjuang. Di sinilah faishal(pemisah) antara orang munafik dan orang mukmin. Orang mukmin selalu percaya bahwa nyawa yang dipersembahkan untuk berjuang di jalan Allah tidak akan sia-sia. Kepercayaan yang sangat pada Allah bahkan membuat orang mukmin tak resah apa lagi bersedih hati.
            Salamah bin al-Akwa` merupakan diantara pasukan yang suka mati. Bukan terutama matinya yang dijadikan acuan. Kematian hanya sebagai sarana untuk membuka keridhaan Tuhan; kematian hanya sebagai alat ketulusan untuk menjemput rahmat Allah berupa surga. Apa yang lebih cepat mengantarkan hamba kepada haribaan Tuhan, selain kematian? Pasti tak akan ada. Kadar suka dan cinta akan membuat segalanya tak berharga, walaupun itu nyawa. Maka jangan heran kalau ada Pasukan Berani Mati yang dengan sekuat tenaga membela mati-matian GUSDUR. Itu mereka lakukan karena cinta dan suka GUSDUR. Terlepas apa secara syariat benar apa tidak, atau secara rill benar-benar melakukannya yang pasti mereka menamakan Pasukan berani Mati. Tapi yang pasti apa yang dilakukan sahabat dalam lembaran panjang perjuangan hidupnya di jalan Allah yang sampai membuat mereka jatuh cinta pada kematian, memang benar-benar tulus dan beralasan. Baik secara syari`at maupun keikhlasan. Allah berfirman: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar(Q.s: At-Taubah: 111).

                Perjuangan mengharuskan pengorbanan. Pengorbanan terbesar ialah ketika nyawa paling berharga dipersembahkan untuk perjuangan. Namun sekali lagi ia hanya sarana, sebagaimana para sahabat memandangnya. Ia hanya alat, sebagaiman para sahabat mempersepsikannya. Alat perjuangan; sarana perjuangan. Selama ada cara yang lebih halus dan masih bisa ditempuh, maka mereka adalah orang di garda depan dalam memilih perdamaian. Mereka betul-betul mengaktualisasikan perjuangan mereka dalam bingkai rahmatan lil `aalamin. Tentu saja kita tidak memaknai kalimat: rahmatan lil`alamin secara sederhana dan na`if dengan membuat premis: Kalau Islam memang penuh rahmat maka harus disebarkan secara mutlak dengan cinta, sama sekali tanpa kekerasan. Bukankah cinta mengharuskan perjuangan? Bukankah perjuangan penuh dengan pengorbanan? Lalu apakah pengorbanan bebas dan seteril dari kekerasan, kesusahan, kemelaratan, dan kesedihan? Dalam sirah Nabi kita menjumpai teladan beliau yang sangat agung tentang rahmat dan cinta: Bahwa rahmat dan cinta itu butuh perjuangan dan pengorbanan, walaupun itu nyawa. 
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan