Kalau ada sayembara kematian yang
berhadiah uang sebesar triliunan rupiah, adakah kira-kira orang yang mau ikut
serta?. Bisa jadi ada, bisa juga tidak. Kalaupun ada, bisakah dipastikan tiada
rasa ketakutan, dan itu benar-benar ikhlas? Kalau dikasih pilihan pada umumnya
meski terpaksa, orang akan memilih nyawa daripada harta. Kemudian adakah orang
yang dengan suka cita rela mau mati walaupun tanpa embel-embel materi
sedikitpun? Anda mungkin menjawab tidak akan ada, mana mungkin orang mau mati
kalau tidak ada imbalan materi. Jangan gegabah dulu, ini memang terkesan tak
mungkin ada. Tapi kalau anda mau meluangkan sedikit waktu untuk membaca sejarah
emas kehidupan para sahabat, pasti akan menemukan realita demikian. Simaklah
apa yang dikatakan Khalid bin Walid ketika terjadi perang Dzatus Salasil di
Uballa beliau berkata pada mereka: Aku datang ke negeri kalian dengan
membawa orang-orang besar yang menyukai kematian sebagaimana kalian menyukai
kehidupan. Demikian juga `Umair bin al-Humaam pada perang Badar yang tak
sabar ingin mati syahid walau hanya beberapa detik untuk memakan kurma. Dan
masih banyak lagi contoh yang berkaitan dengan kisah tersebut. Sebagai gambaran
betapa perjuangan mereka begitu ikhlas walau harus kehilangan nyawa yang berharga.
Salamah bin al-Akwa` adalah salah
satu dari sekian banyak sahabat yang rela mati demi perjuangan Islam. Ia
merupakan pemanah ulung; pasukan pejalan kaki terbaik; hidupnya sepenuhnya
dihibahkan untuk kepentingan Islam. Pada waktu terjadi baiat Ridhwan,
beliau adalah salah satu sahabat yang berbaiat kepada Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wassallam. Tak tanggung-tanggung yang ia pertaruhkan bukan sekedar
harta sang bersifat materil, ia rela menyumbangkan harta berharganya berupa
nyawa untuk perjuangan Islam. Ia baiat siap mati membela Rasulullah. Baiat itu
ia ulangi tiga kali, sebagai gambaran akan kesungguhan yang sudah menjadi
komitmen pribadinya untuk berjuang secara maksimal memperjuangkan Islam. Ia
percaya bahwa keridhaan Allah beserta surga akan diraih dengan sempurna jika
dirinya tak pelit mengorbankan harta terbaik miliknya. Harta itu berupa nyawa.
Walau begitu serius dan sungguh-sungguhnya ia berjuang, namun takdir berkata
lain, Ia mati bukan di medan laga, sebagaimana juga Khalid bin Walid. Namun
tetap saja perjuangannya akan tercatat dengan tinta emas sejarah.
Apa berarti Salamah bin al-Akwa`
merupakan orang radikal lantaran ia berani bahkan mati? Lalu kemudian dikaitkan dengan Islam
sebagai agama radikal dan suka kekerasan? Sama sekali tidak. Islam
mengajarkan: kekerasan merupakan jalan
terakhir ketika tidak ada lagi cara lembut persuasif untuk mengatasinya. Adapun
jika terpaksa harus mati, para pecintanya tak akan lari tunggang-langgang, tak
akan berhenti berjuang hingga titik darah penghabisan. Kematian sebagai bukti
paling konkrit bahwa mereka benar-benar ikhlas dalam berjuang. Di sinilah faishal(pemisah)
antara orang munafik dan orang mukmin. Orang mukmin selalu percaya bahwa nyawa
yang dipersembahkan untuk berjuang di jalan Allah tidak akan sia-sia.
Kepercayaan yang sangat pada Allah bahkan membuat orang mukmin tak resah apa
lagi bersedih hati.
Salamah bin al-Akwa` merupakan
diantara pasukan yang suka mati. Bukan terutama matinya yang dijadikan acuan.
Kematian hanya sebagai sarana untuk membuka keridhaan Tuhan; kematian hanya
sebagai alat ketulusan untuk menjemput rahmat Allah berupa surga. Apa yang
lebih cepat mengantarkan hamba kepada haribaan Tuhan, selain kematian? Pasti
tak akan ada. Kadar suka dan cinta akan membuat segalanya tak berharga,
walaupun itu nyawa. Maka jangan heran kalau ada Pasukan Berani Mati yang dengan
sekuat tenaga membela mati-matian GUSDUR. Itu mereka lakukan karena cinta dan
suka GUSDUR. Terlepas apa secara syariat benar apa tidak, atau secara rill
benar-benar melakukannya yang pasti mereka menamakan Pasukan berani Mati. Tapi
yang pasti apa yang dilakukan sahabat dalam lembaran panjang perjuangan
hidupnya di jalan Allah yang sampai membuat mereka jatuh cinta pada kematian,
memang benar-benar tulus dan beralasan. Baik secara syari`at maupun keikhlasan.
Allah berfirman: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang
pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual
beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar(Q.s:
At-Taubah: 111).
Perjuangan mengharuskan pengorbanan. Pengorbanan terbesar
ialah ketika nyawa paling berharga dipersembahkan untuk perjuangan. Namun
sekali lagi ia hanya sarana, sebagaimana para sahabat memandangnya. Ia hanya
alat, sebagaiman para sahabat mempersepsikannya. Alat perjuangan; sarana
perjuangan. Selama ada cara yang lebih halus dan masih bisa ditempuh, maka
mereka adalah orang di garda depan dalam memilih perdamaian. Mereka betul-betul
mengaktualisasikan perjuangan mereka dalam bingkai rahmatan lil `aalamin.
Tentu saja kita tidak memaknai kalimat: rahmatan lil`alamin secara
sederhana dan na`if dengan membuat premis: Kalau Islam memang penuh rahmat maka
harus disebarkan secara mutlak dengan cinta, sama sekali tanpa kekerasan.
Bukankah cinta mengharuskan perjuangan? Bukankah perjuangan penuh dengan
pengorbanan? Lalu apakah pengorbanan bebas dan seteril dari kekerasan,
kesusahan, kemelaratan, dan kesedihan? Dalam sirah Nabi kita menjumpai
teladan beliau yang sangat agung tentang rahmat dan cinta: Bahwa rahmat dan
cinta itu butuh perjuangan dan pengorbanan, walaupun itu nyawa.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !