HARI masih begitu pagi. Matahari belum menampakkan wajahnya. Suasana masih nampak sunyi dan sepi. Ba`da shalat Shubuh, seorang wanita bisu paruh baya sudah siap-siap untuk berangkat menuju tempat pemakaman umum desa Sumengko. Ia diberi amanat warga desa untuk menjadi tukang bersih-bersih di Pemakaman Umum Sumengko (PUS). Hampir empat tahun ia menjalani profesinya ini tanpa mengeluh dan dijalani dengan penuh kegembiraan.
Di samping sebagai tukang bersih makam, ia juga mempunyai keahlian khusus berupa memijat. Banyak orang-orang yang minta pijat padanya. Karena itu, meskipun dengan segenap kekurangan yang dimilikinya ia masih mampu survive (bertahan) di tengah orang-orang yang memiliki fisik yang berfungsi sempurna. Tak hanya itu. Ia juga termasuk pemeluk agama Islam yang ta`at. Ajaran-ajaran Islam ia laksanakan dengan baik, meskipun ia dibatasi oleh kekurangan pendengaran dan lisan.
Di samping sebagai tukang bersih makam, ia juga mempunyai keahlian khusus berupa memijat. Banyak orang-orang yang minta pijat padanya. Karena itu, meskipun dengan segenap kekurangan yang dimilikinya ia masih mampu survive (bertahan) di tengah orang-orang yang memiliki fisik yang berfungsi sempurna. Tak hanya itu. Ia juga termasuk pemeluk agama Islam yang ta`at. Ajaran-ajaran Islam ia laksanakan dengan baik, meskipun ia dibatasi oleh kekurangan pendengaran dan lisan.
Sehari-hari, ia juga bekerja mengumpulkan kembang-kembang yang berjatuhan di kuburan untuk kemudian dikeringkan dan dijual pada pengasong bunga. Dari pekerjaan yang ia geluti, ia mampu hidup mandiri tanpa bantuan orang lain atau bahkan saudara-saudaranya sendiri. Ia mampu melakukan pekerjaan secara mandiri dan terampil yang mana jika dibandingkan dengan kita-kita yang yang memiliki fisik yang berfungsi sempurna mungkin masih tidak ada apa-apanya.
Allah memang Maha Adil. Keadilanya sungguh tak terbatas. Sekarang yang perlu dipikirkan ialah: kita yang memiliki fisik yang berfungsi sempurna apakah mampu memanfaatkan kelebihan-kelebihan yang kita miliki?. Memang secara fisik kita sempurna dibanding wanita bisu tadi. Namun, bisakah kita menjamin bahwa kita mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti dirinya. Punyakah kita kecanggihan mental; Kemandirian profesi; ketahanan hidup; ketabahan jiwa seperti dirinya. Yang ada mungkin kita gengsi, malu dan tidak percaya diri.
Berhasil tidaknya seseorang memang tidak bergantung pada fisik yang sempurna. Ada jarak yang demikian jauh antara keberhasilan dan kesempurnaan fisik. Tidak ada jaminan orang yang sempurana fisiknya mesti berhasil dan yang cacat mesti gagal. Kesempurnaan fisik memang modal yang sangat berharga, tapi ia hanya akan menjadi bomerang jika hanya dijadikan pajangan dan tidak dimaksimalkan fungsinya.
Maka dari itu mungkin banyak kita dapati bahwa orang-orang catat rata-rata memiliki kelebihan unik. Ini bisa terjawab melalui teknologi batin yang mereka miliki berupa ketabahan, apa adanya, tidak gengsi dan fokus. Teknologi batin itulah kemudian membuat gerak mereka terarah, fokus dan mampu memaksimalkan kelebihan yang dimiliki, meski terkadang mereka tidak menyadarinya.
Dalam sejarah sahabat-sahabat Rasulullah juga kita dapati orang yang cacat fisik seperti Ibnu Umi Ma`tum yang buta. Coba bandingkan dengan orang-orang yang sempurna fisiknya pada zamannya seperti Abu Jahal, Walid bin Mughirah, Abu Lahab dan lainya. Ternyata apa, meski buta Ibnu Umi Ma`tum mampu mendayagunakan segenap potensinya untuk menyerap nilai-nilai Islam dan mampu sukses meraih tropi menjadi sahabat nabi.
Kita tahu bahwa gelar sahabat menempati posisi penting di mata nabi di mana mereka merupakan generasi terbaik. Tapi bandingkan dengan Abu Jahal, Walid bin Mughirah, Abu Lahab mereka gagal memenangkan tropi menjadi sahabat karena gengsi dan takabur yang menutupi potensi teknologi batin yang dimiliki. Kemudian bagaimana dengan kita? Mampukah kita memaksimalkan kesempurnaan fisik kita? Jawabanya ada pada diri kira masing-masing. Wallahu a'lam
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !